Selasa, 03 April 2012

Nama, Sifat dan Perbedaan Al-Quran dengan Al-Hadits



A.    Definisi Al-Quran
Salah satu pengertian Al-Quran dikemukakan oleh Imam Ali Ash-Shabuni (2003:8) sebagai berikut:
كَلاَمُ اللهِ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ,  اَلْمَكْتُوْبُ فِي الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ ، اَلْمُتَعَبِّدُ بِتِلاَوَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ اَلْمُخَتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.
        "Kalam Allah yang tiada tandingannya (mu'jiz), diturunkan kepada Nabi Muhammad  saw. penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantaraan al-Amin (Jibril a.s.), ditulis dalam mushhaf-mushhaf, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs ".

B.     Nama-nama  Al-Quran
Dalam pengantar studi ilmu Al-Quran karangan Syaikh Manna’ Al-Qaththan (2006:19) Banyak sebutan yang Allah berikan untuk Al-Quran, diantaranya :
1.      Al-Quran
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
 “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” ( QS. Al-Israa : 9)
Dalam terjemah Tafsir Jalalain (versi 2.0:111) dijelaskan bahwa (Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada) jalan (yang lebih lurus) lebih adil dan lebih besar (dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar).
2.      Al-Kitab
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
 “ Sesungguhnya Telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” ( QS. Al-Anbiya : 10)
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lainnya. Muhammad Abdullah Darraz berkata “Dinamakan Al-Quran karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua makna yang sangat relevan dengan kenyataan” kedua nama ini memberi isyarat, sepatutnya Al-Quran dipelihara dalam bentuk tulisan dan hafalan. Dengan demikian, apabila dianatara salah satunya ada yang keliru, maka yang lain akan meluruskannya. (Qhaththan, 2006: 20)
3.      Al-Furqan
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam“.  (QS. Al-Furqan : 1)
4.      Adz-Dzikr
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(QS. Al-Hijr:9)
5.      At-Tanzil
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam,”(QS. Asy-Syu’araa:192)

C.    Sifat-sifat Al-Quran
Allah SWT  juga, melukiskan Al-Quran dengan banyak sifat, diantaranya:
1.      Nur (cahaya)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
 “Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan Telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)”. (QS. An-Nisa : 174)
2.      Mau’izhah (nasehat)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
 “Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus : 57)
3.      Mubin (yang menjelaskan)
Ÿيَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
“Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”. (QS. Al-Maa’idah: 1)
4.      Al-Mubarak (yang diberkahi)
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan Ini (Al-Quran) adalah Kitab yang Telah kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya(QS. Al-An’am:92)
5.      Busyra (berita gembira)
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
 “Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 97)
6.      Aziz (yang mulia)
 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
 “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia”. (QS. Fushilat:41)
7.      Majid (yang dihormati)
 بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
 “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia” (QS. Al-Buruj:21)
8.      Basyir (pembawa berita gembira), dan Nadzir (pemberi peringatan) 
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ . بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
 “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan”. (QS Fusilat : 3-4 )

D.    Perbedaan Al-Quran dengan Hadits Qudsi
Ada beberapa perbedaan antara Al-Quran dengan hadits qudsi. Dan yang terpenting ialah;
1.      Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW dengan lafazhnya, yang dengannya orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Al-Quran itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al-Quran merupakan mukjizat abadi Hari Kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukzijat
2.      Al-Quran Al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai biasanya, “Allah Ta’ala telah berfirman.” Adapun hadits qudsi seperti telah dijelaskan sebelumnya, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadits qudsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan). Disini juga menggunakan ungkapan, “Allah telah berfirman atau Allah berfirman.” Terkadang juga diriwayatkan dengan disandarkan kepara Rasulullah SAW, tetapi penisbatannya bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan hadits  itu dari Allah. Maka disini dikatakan; Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
3.      Seluruh isi Al-Quran dinukil secara mutawatir , sehingga kepastiannya sudah mutlak (qath’I ats-tsubut). Sedang hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang dha’if (lemah).
4.      Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wahyu. Adapun hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah SAW Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.
5.      Membaca Al-Quran Al-Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam shalat.
….فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ.....
           “Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an” (Al-Muzammil; 20)
          
                       Nilai ibadah membaca Al-Quran juga terdapat dalam hadits,
            “Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alim satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Untuk hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membaca Al-Quran bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

E.     Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits nabawi ada 2 macam :
1.  Tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu; kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia dijelaskan kepada manusia dengan kata-kata darinya. Disini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi –di sisi perkataan- lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya, walaupun terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain.
2.      Taufiqi. Bagian lain adalah taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu; yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW, menurut pemahamannya terhadap Al-Quran, karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan Al-Quran, atau mengambil istinbath dengan perenungan dan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu akan mendiamkannya bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka wahyu akan turun untuk membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam Allah.
Dari sini jelaslah bahwa hadits nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu dapat dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad SAW,
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsu. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (An-Najm; 3-4)
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah. Hadits ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, dengan satu cara dari beberapa model pewahyuan, tetapi lafazhnya dari Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbatkannya hadits qudsi kepada Allah Ta’ala adalah penisbatan isinya (esensi), bukan penisbatan lafazhnya (redaksi). Sebab seandainya lafazh hadits qudsi itu berasal dari Allah, maka tentu tidak berbeda dengan Al-Quran; gaya bahasanya pun akan menantang, juga yang membacanya dianggap ibadah.
Tentang hal ini muncul dua syubhat;
Pertama; Hadits nabawi ini secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak kita namakan juga sebagai hadits qudsi?
Jawabannya ialah; Kita memastikan bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya nash syar’i yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW; Allah SWT telah berfirman (qaalallah), atau Allah Ta’ala berfirman (yaquulullah). Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda dengan hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti ini. Di samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu (yakni secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara tauqifi). Dengan demikian,kita namakan semuanya dengan nabawi sebagai nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.
Kedua; Apabila lafazh hadits qudsi itu dari Rasulullah, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbatkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti, “Allah SWT telah berfirman” atau “Allah SWT berfirman”?
Jawabannya; Hal seperti ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang mana suatu ucapan disandarkan berdasarkan kandungannya, bukan lafazhnya. Misalnya: ketika kita mengubah satu bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan berkata demikian”.begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan lainnya dengan lafazh yang bukan lafazh yang mereka ucapkan dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi tetap saja disandarkan kepada mereka.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?" Berkata Musa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan), Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami." Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil." Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya." (Asy-Syu’araa; 10-24)    
  
Sumber: 
Ali Ashobuni, Syekh Muhammad.(2003) At-Tibyan fi ‘Ulumu al-Quran. Mekkah: Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Al-Qotthon, Manna’ Khalil. (2006) Pengantar studi ilmu al-Quran. Jakarta: Pustaka Kautsar
Zakaria, A. (2003). Al-Bayan Fii ‘ulum Al-Quran. Garut: Dar Ibnu Azka


Tidak ada komentar: