A. Definisi Al-Quran
Salah satu pengertian Al-Quran dikemukakan oleh Imam Ali
Ash-Shabuni (2003:8) sebagai berikut:
كَلاَمُ اللهِ
الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ
بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ, اَلْمَكْتُوْبُ
فِي الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ ، اَلْمُتَعَبِّدُ
بِتِلاَوَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ اَلْمُخَتَتَمُ بِسُوْرَةِ
النَّاسِ.
"Kalam Allah yang tiada
tandingannya (mu'jiz), diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. penutup para
Nabi dan Rasul, melalui perantaraan al-Amin (Jibril a.s.), ditulis dalam
mushhaf-mushhaf, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah
membacanya, diawali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs
".
B. Nama-nama Al-Quran
Dalam pengantar studi ilmu Al-Quran karangan Syaikh Manna’ Al-Qaththan
(2006:19) Banyak sebutan yang Allah berikan untuk Al-Quran, diantaranya :
1. Al-Quran
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ
أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya
Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar” ( QS. Al-Israa : 9)
Dalam terjemah Tafsir Jalalain (versi 2.0:111) dijelaskan bahwa (Sesungguhnya
Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada) jalan (yang lebih lurus) lebih adil dan lebih besar (dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar).
2. Al-Kitab
لَقَدْ
أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“ Sesungguhnya Telah kami turunkan
kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan
bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” ( QS. Al-Anbiya : 10)
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lainnya.
Muhammad Abdullah Darraz berkata “Dinamakan Al-Quran karena ia dibaca dengan
lisan, dan dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua makna yang
sangat relevan dengan kenyataan” kedua nama ini memberi isyarat, sepatutnya
Al-Quran dipelihara dalam bentuk tulisan dan hafalan. Dengan demikian, apabila
dianatara salah satunya ada yang keliru, maka yang lain akan meluruskannya.
(Qhaththan, 2006: 20)
3. Al-Furqan
تَبَارَكَ
الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah
yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi
pemberi peringatan kepada seluruh alam“. (QS. Al-Furqan : 1)
4. Adz-Dzikr
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”.(QS. Al-Hijr:9)
5. At-Tanzil
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta Alam,”(QS. Asy-Syu’araa:192)
C. Sifat-sifat
Al-Quran
Allah SWT juga, melukiskan Al-Quran dengan banyak sifat,
diantaranya:
1. Nur (cahaya)
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Hai manusia,
Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad
dengan mukjizatnya) dan Telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang (Al Quran)”. (QS. An-Nisa : 174)
2. Mau’izhah (nasehat)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia,
Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman” (QS. Yunus : 57)
3. Mubin (yang
menjelaskan)
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ
كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ
جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
“Hai ahli kitab,
Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari
isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang
menerangkan”. (QS. Al-Maa’idah: 1)
4. Al-Mubarak (yang
diberkahi)
وَهَذَا
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ
وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan Ini (Al-Quran) adalah Kitab yang Telah kami turunkan yang
diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu
memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di
luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat
tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya”(QS. Al-An’am:92)
5. Busyra (berita
gembira)
قُلْ مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Katakanlah:
"Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah
menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 97)
6. Aziz (yang mulia)
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu
pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia”.
(QS. Fushilat:41)
7. Majid (yang dihormati)
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
“Bahkan yang
didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia” (QS. Al-Buruj:21)
8. Basyir (pembawa
berita gembira), dan Nadzir (pemberi peringatan)
كِتَابٌ
فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ . بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا
يَسْمَعُونَ
“Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan”. (QS Fusilat : 3-4 )
D. Perbedaan Al-Quran
dengan Hadits Qudsi
Ada beberapa perbedaan antara Al-Quran dengan hadits qudsi. Dan
yang terpenting ialah;
1. Al-Quran Al-Karim
adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW dengan lafazhnya, yang
dengannya orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti
Al-Quran itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat
sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al-Quran merupakan mukjizat
abadi Hari Kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula
berfungsi sebagai mukzijat
2. Al-Quran Al-Karim
hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai biasanya, “Allah
Ta’ala telah berfirman.” Adapun hadits qudsi seperti telah dijelaskan
sebelumnya, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran
hadits qudsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan).
Disini juga menggunakan ungkapan, “Allah telah berfirman atau Allah berfirman.”
Terkadang juga diriwayatkan dengan disandarkan kepara Rasulullah SAW, tetapi
penisbatannya bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan
hadits itu dari Allah. Maka disini dikatakan; Rasulullah mengatakan
mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
3. Seluruh isi
Al-Quran dinukil secara mutawatir , sehingga kepastiannya sudah mutlak (qath’I
ats-tsubut). Sedang hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar
ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut).
Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang
dha’if (lemah).
4. Al-Quran Al-Karim
dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wahyu. Adapun hadits qudsi
maknanya saja yang dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah SAW
Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu, menurut
sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi dengan
maknanya saja.
5. Membaca Al-Quran
Al-Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam shalat.
….فَاقْرَءُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ.....
“Maka bacalah apa yang mudah bagimu
dari Al-Qur’an” (Al-Muzammil;
20)
Nilai ibadah
membaca Al-Quran juga terdapat dalam hadits,
“Barang siapa yang membaca satu
huruf dari Al-Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan
dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf.
Tetapi alim satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)
Untuk hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam
shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi
membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membaca Al-Quran bahwa
pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits di atas.
E. Perbedaan Hadits
Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits nabawi ada 2 macam :
1. Tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu; kandungannya diterima oleh
Rasulullah dari wahyu, lalu ia dijelaskan kepada manusia dengan kata-kata
darinya. Disini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi –di
sisi perkataan- lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu
disandarkan kepada siapa yang mengatakannya, walaupun terdapat makna yang
diterimanya dari pihak lain.
2. Taufiqi. Bagian
lain adalah taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu; yang disimpulkan oleh
Rasulullah SAW, menurut pemahamannya terhadap Al-Quran, karena fungsi Rasul
menjelaskan, menerangkan Al-Quran, atau mengambil istinbath dengan perenungan dan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu
akan mendiamkannya bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka
wahyu akan turun untuk membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam Allah.
Dari sini jelaslah bahwa hadits nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu dapat
dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah tentang Rasul
kita Muhammad SAW,
“Dia (Muhammad)
tidak berbicara menurut hawa nafsu. Apa yang diucapkannya itu tidak lain
hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (An-Najm; 3-4)
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah. Hadits ini disampaikan
kepada Rasulullah SAW, dengan satu cara dari beberapa model pewahyuan, tetapi
lafazhnya dari Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbatkannya hadits
qudsi kepada Allah Ta’ala adalah penisbatan isinya (esensi), bukan penisbatan
lafazhnya (redaksi). Sebab seandainya lafazh hadits qudsi itu berasal dari
Allah, maka tentu tidak berbeda dengan Al-Quran; gaya bahasanya pun akan
menantang, juga yang membacanya dianggap ibadah.
Tentang hal ini muncul dua syubhat;
Pertama; Hadits nabawi ini
secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak
kita namakan juga sebagai hadits qudsi?
Jawabannya ialah;
Kita memastikan bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya
nash syar’i yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW;
Allah SWT telah berfirman (qaalallah), atau Allah Ta’ala berfirman
(yaquulullah). Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda
dengan hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti
ini. Di samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu
(yakni secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu
secara tauqifi). Dengan demikian,kita namakan semuanya dengan nabawi sebagai
nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu
tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.
Kedua; Apabila lafazh
hadits qudsi itu dari Rasulullah, maka dengan alasan apakah hadits itu
dinisbatkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti, “Allah SWT telah
berfirman” atau “Allah SWT berfirman”?
Jawabannya; Hal
seperti ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang mana suatu ucapan disandarkan
berdasarkan kandungannya, bukan lafazhnya. Misalnya: ketika kita mengubah satu
bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita
menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan
berkata demikian”.begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan
lainnya dengan lafazh yang bukan lafazh yang mereka ucapkan dan dengan gaya
bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi tetap saja disandarkan kepada
mereka.
“Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang
zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?" Berkata
Musa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan
aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah
(Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka
akan membunuhku." Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan
dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami
(mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang
mereka katakan), Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan katakanlah
olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah
Bani Israil (pergi) beserta kami." Fir'aun menjawab: "Bukankah kami
telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan
kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat
suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan
kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa:
"Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang
khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian
Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara
rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu
telah memperbudak Bani Israil." Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan
semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan
apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang)
mempercayai-Nya." (Asy-Syu’araa;
10-24)
Sumber:
Ali Ashobuni, Syekh
Muhammad.(2003) At-Tibyan fi
‘Ulumu al-Quran. Mekkah: Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Al-Qotthon, Manna’
Khalil. (2006) Pengantar studi
ilmu al-Quran. Jakarta:
Pustaka Kautsar
Zakaria, A. (2003). Al-Bayan Fii ‘ulum Al-Quran. Garut: Dar Ibnu Azka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar