Hamdan wa syukran lillah, setiap untaian tasbih, tahmid,
takbir dan tahlil senantiasa tercurah pada Ilahi,
yang tak hentinya mengalirkan beribu macam nikmat, mengatur segala urusan
makhluk-Nya.
Berbicara tentang tarbiyah, akan sangat erat kaitannya dengan ilmu,
yang sama sekali tak bisa dipisahkan dengan Islam, karena wahyu pertama
yang Nabi Muhammad Saw. terima merupakan perintah untuk membaca, yang merupakan
salah satu cara mendapatkan ilmu. Berikut firman-Nya dalam
surat Al-‘Alaq: 1-5,
اقْرَأْبِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اقْرَأْوَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ, الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَالَمْ
يَعْلَمْ.
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Terdapat dua lafadz dalam ayat di atas yang diulang, yakni lafadz ‘iqra’ dan ‘allama’.
Kata iqra terulang sebanyak dua kali, ini menunjukan bahwa
membaca tidak cukup hanya satu kali saja, akan tetapi memerlukan pengulangan.
Sedangkan kata ‘allama terulang dua kali, hal ini juga
menunjukan proses mengajar yang harus berulang-ulang.
Kembali kepada pembahasan tarbiyah atau biasa diartikan
pendidikan, Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009: 19) mengemukakan bahwa secara
umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar kata yang
berbeda;- يربو ربا yang
semakna dengan- ينمو نما berkembang, ربي- يربي yang berarti
tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki,
mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
Akan sangat menarik jika pembahasan tarbiyah ini dilengkapi dengan beberapa
ayat Al-Quran yang saling berkaitan. Maka disini penulis memadukan tiga ayat
Al-Quran yang akan sangat membantu dalam memahami makna tarbiyah yang
sesungguhnya; surat Al-Fatihah: 2, Al-Isra: 24 dan Asy-Syu’ara: 16. Dengan
mengambil beberapa kitab tafsir, mudah-mudahan dapat lebih mengantarkan
memahami makna tarbiyah, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan.
A. Surat Al-Fatihah: 2
1. Tafsir Mufradat
الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
‘segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam’.
As-Sa’adi
dalam tafsirnya (1: 30) mengemukakan bahwa:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ } [هو] الثناء على الله بصفات الكمال، وبأفعاله الدائرة بين الفضل والعدل،
فله الحمد
الكامل، بجميع الوجوه
الْحَمْدُ لِلَّهmerupakan
pujian terhadap Allah SWT. karena sifat-sifat-Nya yang sempurna, juga karena
perbuatanNya yang berkisar antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna
dari berbagai aspek.
Lebih lanjut Al-Qasimi (1978:1:6) menyebutkan:
(الحَمْدُ للهِ ) أي الثناء بالجميل , والمدح
بالكمال ثابت لله دون سائر ما يعبد من دونه,
ودون كل ما
برأ من خلقه. واللام فى ((الحمد)) للاستغراق أى استغراق جميع أجناس
الحمد
وثبوتها لله تعالى تعظيماً وتمجيداً
(الحَمْدُ للهِ ) yaitu pujian yang indah dan sempurna hanya untuk
Allah semata. Huruf lam dalam kata الحمد bermakna istigraq,
yakni menghimpun semua jenis pujian dan menetapkannya hanya untuk Allah semata
sebagai bentuk pengagungan.
Adapun Al-Maragi menyebutkan (1974, 1:30):
(رب) هو السيد المربّى الذي يسوس من يربّيه ويدبّر شئونه.
Rabb
adalah Tuan, pengurus yang menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur
semua kebutuhannya.
(العالمين) واحدهم عالم (بفتح اللام) ويراد به جميع الموجودات ، وقد جرت عادتهم ألا
يطلقوا هذا اللفظ إلا على كل جماعة متمايزة لأفرادها صفات تقربها من العقلاء إن لم
تكن منهم ، فيقولون عالم الإنسان ، وعالم الحيوان وعالم النبات ، ولا يقولون عالم
الحجر ، ولا عالم التراب ، ذاك أن هذه العوالم هى التي يظهر فيها معنى التربية
الذي يفيده لفظ (رب) إذ يظهر فيها الحياة والتغذية والتوالد.
Kata العالمين mufradnya العالم, yakni semua makhluk yang ada, lafadz ini biasa nya digunakan
untuk suatu kumpulan yang terpisah satu sama lain dengan sifat-sifat yang
mendekati akal jika tidak terdapat pada mereka. Seperti perkataan: alam
manusia, alam hewan dan alam tumbuhan. Tapi tidak boleh digunakan untuk alam
batu, alam tanah. Hal tersebut karena alam-alam ini tidak mengandung makna
tarbiyah yang semakna dengan lafadz rabb, adapun jika tampak
padanya kehidupan, makanan dan berkembangbiak
Sedangkan menurut Ibnu Katsir (1986, 1: 131)
{ رَبِّ الْعَالَمِينَ
} والرب هو: المالك المتصرف، ويطلق في اللغة على السيد، وعلى المتصرف
للإصلاح، وكل ذلك صحيح في حق الله تعالى.[ولا يستعمل الرب لغير الله، بل بالإضافة
تقول: رب الدار رب كذا، وأما الرب فلا يقال إلا لله عز وجل، وقد قيل: إنه الاسم
الأعظم]. والعالمين: جمع عالم، [وهو كل موجود سوى الله عز وجل] ، والعالم جمع لا
واحد له من لفظه، والعوالم أصناف المخلوقات [في السماوات والأرض] في البر والبحر،
وكل قرن منها وجيل يسمى عالمًا أيضًا.(إبن كثير : ۱ : ۱٣۱)
Rabb: raja yang menguasai,
secara bahasa lafadz rabb mengandung makna: tuan, seorang penguasa wajib mengishlahkan, dan semua makna
tersebut adalah benar merupakan hak Allah SWT.
Lafadz rabb tidak digunakan
untuk selain Allah, kecuali jika diidafatkan, seperti: rabb ad-daar, Adapun
lafadz ar-rabb hanya khusus untuk Allah swt,
dikatakan bahwa: rabb itu merupakan nama yang agung. العالمين: jama
dari kata العالم, yakni semua makhluk selain Allah SWT. Sedangkan lafadz ‘Aalam
merupakan isim jama yang tidak ada lafadz mufradnya. Alam-alam tersebut
merupakan bagian-bagian makhluk, yakni yang ada di bumi maupun di langit, di
darat maupun di laut, dan setiap zaman beserta pengisinya disebut juga alam.
Sejalan dengan pendapat diatas, Al-Qasimi (1978:1:6)
menuturkan:
((رَبِّ العَالَمينَ)) الرب يطلق على السيد
المطاع و على المصلح وعلى المالك. – تقول : ربّه يَرُبٌّه فهو ربّ كما تقول: نمّ
عليه ينمّ فهو نمّ- فهو صفة مشبهة, ويجوز أن يكون مصدراًبمعنى التربية وهى:تبليغ
الشىء إلى كما له شيئاً فشيئاً. وصف به الفاعل مبالغة كما وصف بالعدل. والرب –
باللام – لا يقال إلا لله عزّ وجلّ. وهو فى غيره على التقييد بالإضافة – كربّ
الدار –. و (( العالمين )) جمع عالم وهو : الخلق كلّه وكل صنف منه. وإيثار صيغة
الجمع لبيان شمول ربوبيته تعالى الجميع الأجناس. والتعربف لاستغراق أفراد كل منها
بأسرها
رَبِّ العَالَمينَ , Rabb berarti tuan yang
ditaati, yang membereskan dan raja. Berasal dari kata ربّ- يربّ- ربّ yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz
ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya bisa juga semakna dengan lafadz
التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu
sampai sempurna sesuatu, pelaku penyampainya disifati dengan sifat seperti
adil. Lafadz Ar-rabb hanya untuk Allah semata, adapun jika digunakan untuk
makhluk maka harus memakai idafat seperti: rabb ad-daar. Al-‘aalamiin merupakan
jama dari kata ‘aalam, yaitu semua makhluk dengan berbagai macamnya, fungsi
dari bentuk jama (الْعَالَمِيْنَ) untuk menjelaskan cakupan
ketuhanan Allah SWT. Terhadap berbagai jenis makhluk. Definisi lil-istigrak
adalah menyatukan semua bagian dengan yang lainnya.
2. Makna Ijmali
Surat
al-Fatihah: 2 ini merupakan salah satu ayat yang
sering dibaca, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Kalimat الْحَمْدُ لِلّهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ juga seringali diucapkan sebagai ungkapan rasa
syukur atas segala bentuk nikmat yang Allah amanatkan kepada manusia.
Makna ربّ العالمين menurut Imam
Asy-Suyuti dan Al-Mahalli mengemukakan bahwa: (Tuhan semesta alam)
artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari
manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing
mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain
sebagainya. Lafadz 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari
lafadz '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menunjukan
makhluk berakal. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat bahwa
alam merupakan tanda bagi adanya yang menciptakannya. (Hidayat, 2010: 1)
Adapun Imam Abul Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasqy (1986, 1: 23-26) menafsirkan
ayat ini dengan terlebih dahulu mengemukakan perbedaan membaca diantara ahlul
quraa,
القراءالسبعة
على ضم الدال في قوله الحمد لله هومبتدأ و خبر وروي عن صفيان بن عيينه رؤبة
العجاج انّهما قال (الحمدَ لله) باالنصب و هو على إضمار فعل وقرأ ابن عبلة
(الحمدُ لله) بضم الدال واللام إتباعا للثاني الأول وله شواهد لكنّه شاذ وعن الحسن
وزيد بن علي (الحمدُ لله) بكسر الدال إتباعا للاوّل الثاني
Al-qurra’
as-Sab’ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada
huruf dal الحمدُ لله, yang merupakan mubtada (subjek)
dan khobar (predikat). Diriwayatkan dari Sufyan ibn Uyainah dan Ru’bah
al-‘Ajaj, bahwa mereka berpendapat الحمدَ لله dinasabkan karena
menyembunyikan fi’il. Adapun Ibn Ablah membacanya dengan mendomahkan
dal الحمدُ لله karena mengikuti kepada kata
kedua pertama, ia juga memiliki beberapa saksi akan tetapi syad, dan Al-Hasan
serta Zaid ibn Ali membacanya dengan mengkasrahkan dal الحمدِ لله karena mengikuti
kata pertama kedua.
قال أبو
جعفربن جرير معنى (الحمد لله) الشكر لله خالصا دون سائرما يعبد من دونه , ودون كل
ما برأ من خلقه بما انعم على عباده من انعم اللتي لا يحصيها العدد , ولا يحيط
بعددها غيرأحد
Abu Ja’far bin Jarir mengatakan: Alhamdulillah berarti
syukur kepada Allah semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan pula
pada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia
anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya yang
tak terhingga jumlahnya, dan tak ada seorangpun selain Dia yang tahu jumlahnya.
Lebih lanjut Ibnu Jarir (Ibnu Katsir, 1986:1:25)
menyebutkan: di kalangan para ulama mutaa’khirin, alhamdu adalah
pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan
segala sifat- sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan
pihak lain. Adapun asy-syukru dilakukan terhadap sifat-sifat
yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan
anggota badan.
Akan tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukru. Mengenai
hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat
keumuman dan kekhususan. Al-hamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena
terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan juga pihak
lain, misalnya anda katakan: “Aku memujinya (al-hamdu) karena
sifatnya yang ksatria dan kedermawanannya.” Tetapi juga lebih khusus karena
hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih
umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui
ucapan, perbuatan, dan juga niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa
dikatakan bahwa aku berterimakasih kepadanya atas sifatnya yang ksatria, namun
bisa dikatakan aku berterimakasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya
kepadaku.
Dengan demikin dapat ditarik garis besarnya bahwa الحمدُ للهmerupakan segala pujian yang dihaturkan hanya
untuk Allah semata karena sifat-sifat-Nya yang agung, diungkapkan melalui
lisan. Berbeda halnya dengan الشكر yang berarti
pujian karena kebaikan yang berupa nikmat atau pemberian, lafadz ini bisa
digunakan kepada Allah ataupun manusia, dan diungkapkan bisa berbentuk lisan,
perbuatan ataupun hati.
رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ, rabb memiliki
beberapa arti; berarti tuan yang ditaati, yang membereskan, raja, seorang
penguasa yang wajib mengishlahkan, Rabb adalah Tuan, pengurus yang
menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur semua kebutuhannya. kata ربّ- يربّ- ربّ yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz
ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya semakna dengan
lafadz التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu sampai sempurna
sesuatu tersebut. Rabb tidak bisa digunakan untuk menyebut manusia atau
makhluk, kecuali jika didafatkan dengan kata lain seperti; rabb al-bait (pemilik
rumah) (Ibnu Katsir, 1986:1:26).
الْعَالَمِيْنَ bentuk jama’
dari الْعَالَم, yang berarti alam; alam manusia,
alam hewan, alam tumbuhan dan sebagainya. Kata tersebut diatas merupakan isim
jinsi yang tidak ada bentuk mufradnya, karena baik الْعَالَمِيْنَ ataupun الْعَالَمِ bermakna jama,
seperti halnya kata قوم dan رهطyang berarti kelompok atau golongan. (Ibnu
Katsir, 1986:1:26)
Setiap pujian yang indah hanya milik Allah SWT. Karena
Dialah sumber semua kehidupan. yakni Dialah yang menguasai seluruh alam,
mengatur mereka dari penciptaan hingga akhir dan memberi sesuatu yang baik dan
islah bagi mereka. Maka, hanya bagi-Nyalah
segala puji yang baik dan ungkapan syukur atas kebaikan-Nya.
Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009:19) mengemukakan bahwa
secara umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar
kata yang berbeda;- يربو ربا yang
semakna dengan- ينمو نما berkembang, ربي- يربي yang berarti
tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki,
mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
Dalam litelatur bahasa arab, selain kata tarbiyah terdapat
empat kata lain yang sering kali diartikan pendidikan atau pengajaran; ta’lim,
tadris, tahdzib, dan ta’dib. Tarbiyah merupakan pendidikan
menyeluruh terhadap manusia yang meliputi; jasmani, akal, akhlak, sosial,
emosional, estetika dan lain sebagainya, tarbiyah juga
berlangsung secara kontinu. (Rosyidin, 2009:20)
Ta’lim lebih
menekankan pada aspek kognitif dan keterampilan, secara bahasa ta’lim semakna
dengan al-i’lam, yakni pemberitahuan informasi. Proses ta’lim dilakukan
secara berulang-ulang sehingga dapat diingat. Ta’lim tidak
menuntut lebih dari guru yang melaksanakan pengajaran, peserta didik hanya
harus memperhatikan dan mendengarkan materi yang disampaikan guru. (Rosyidin,
2009: 20-21)
Tadris merupakan
bentuk masdar dari darasa- yadrusu, yang berarti membaca dengan
terus-menerus, berulang-ulang agar dihapal. Selanjutnya tadris diartikan
mengajar. Proses tad’ris memiliki beberapa tahapan;
membacakan, membicarakan, menjelaskan, mengimlakan, menulis, membandingkan,
menganalisis, menilai dan menyimpulkan. (Rosyidin, 2009: 22)
Tahdzib bermakna
membersihkan, membetulkan, memperbaiki agar terhindar dari hal-hal yang tidak
perlu, dan membersihkan yang sudah ada. Aziz Salim mendefinisikan tahdzib dengan
pembinaan akhlak, perbaikan prilaku, pembangkitan nurani, penajaman cita-cita
dan pendidikan kemauan atas asas-asas keIslaman, hingga akan terbentuk insan
muslim yang sebenarnya. (Rosyidin, 2009: 23)
Ta’dib berarti
budi pekerti yang baik, prilaku terpuji, sopan santun, melatih jiwa dan
memperbagus akhlak. Dengan kata lain ta’dib berarti pendidikan
adab, akhlak, etika, prilaku. (Rosyidin, 2009: 24)
Al-Maragi (1974, 1: 30) membagi tarbiyah
dalam dua kategori;
Tarbiyah Allah terhadap manusia terdapat dua; (1) tarbiyah
khalqiyyah, yang berupa pertumbuhan anggota badan, hingga mencapai
kematangan, juga berupa bertambah kuat psikis dan akal. (2) tarbiyah
diniyyah tahdzibiyyah, berupa sesuatu yang di ilhamkan kepada beberapa
individu, untuk menyampaikan kepada setiap manusia sesuatu yang dapat
menyempurnakan akal pikiran dan membersihkan diri-diri mereka. Manusia tidak
bisa mensyariatkan suatu beribadah, tidak pula menghalalkan sesuatu dan
mengharamkan yang lainnya kecuali atas izin Allah SWT.
Sependapat dengan ungkapan Al-Maragi diatas, dengan
istilah yang berbeda As-Sa’adi (1: 39) juga membagi Tarbiyah
Allah SWT. kepada makhluk-Nya kepada dua bagian;
Umum, yakni
berupa penciptaan Makhluk, memberi rizki, memberi hidayah untuk kemaslahatan
mereka, yang hidayah itu didalamnya terdapat kekekalan di dunia. Khusus, tarbiyah
Allah terhadap para peminpin mereka, Allah memelihara mereka dengan keimanan,
memberi taupik kepada mereka, menyempurnakan mereka, membayar dari mereka
perubahan-perubahan dan sesuatu yang menyibukan hubungan diantara Dia dan
mereka. Hakikatnya: memelihara keberhasilan untuk setiap kebaikan, menjaga
dari setiap kejelekan. Barangkali inilah makna rahasia dibalik banyaknya seruan
para nabi dengan menggunakan lafadz rabb, karena sungguh setiap permintaan
mereka berada dibawah pemeliharaan Allah SWT.
3. Nilai Tarbawi
Menurut
Al-Hijazi (Rosyidin, 2003: 23) rabb adalah
raja dan tuan, pada kata tersebut mengandung makna ketuhanan, pendidikan, dan
bimbingan atau bantuan. Kata al-‘âlamîn jamak dari ‘alam,
artinya alam itu banyak macamnya, selain alam Allah, ada juga alam manusia,
binatang dan tumbuhan.
Kata rabb dalam
surat al-Fatihah ayat 2 semakna juga dengan kata rabb dalam
surat ash-Shâffat: 180
“Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari
apa yang mereka katakan”.
Menurut
Al-Hijazi, kata rabb mengandung
makna bahwa rububiyyah Allah mengarahkan pendidikan supaya
bersifat sejuk, penuh kasih sayang, perhatian, inspiratif dan menyenangkan atau
tidak membosankan. (Rosyidin, 2003: 24)
Al-Maraghi
menjelaskan bahwa konsep pendidikan yang terkandung dalam kata rabb pada
dua ayat tersebut adalah bahwa cakupan pendidikan itu meliputi fisik, perasaan,
akal (intelektual), bakat (potensi) dan jiwa, sehingga mencapai kesempurnaan
kemanusiaannya menurut pandangan Allah SWT. kemudian dia menjelaskan bahwa
tujuan pendidikan itu adalah untuk memberikan kesenangan dan kemuliaan antara
guru dan murid tanpa ada batas. (Rosyidin, 2003:25)
Sedangkan
Ar-Raghib (Zakaria, 2008: 110) mendefinisikan rabb sebagai
berikut;
إنشاء الشيئ حالا فحالا إلى حدّ التّمام
Menjadikan
sesuatu setahap demi setahap, sampai batas yang sempurna.
Dengan
demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, nilai tarbawi yang terkandung dalam ayat ini, yaitu:
a. Allah
SWT. Dialah maha guru, yang pertamakali mengajarkan ilmu pada manusia pertama,
yaitu Adam as., maka segala ungkapan puji dan syukur hanya untuk Allah yang
maha suci, atas segala sifat-sifat-Nya yang agung.
b. Seorang
pelajar, murid ataupun peserta didik harus berterimakasih kepada guru atas budi
baiknya mendidik kita. Mendidik disini dalam artian tarbiyah, bukan
sekedar mendidik tapi juga membimbing, mengawasi, menjaga dan mengajarkan.
c. Proses tarbiyah bukan
hanya sekedar mengajarkan saja, tapi juga membimbing, menuntun dan mendidik
sampai peserta didik memahami dan mempraktekan ilmunya.
B. Surat Al-Isra: 24
1. Tafsir Mufradat
وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya:
“ dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasihsayang dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Muhammad Mutawalli
Asy-Sya’rawi (1418 H, 8463: 14) menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
{وَاخْفِضْ} : الْخَفْضُ ضِدُّ الرَّفْعِ.
{وَاخْفِضْ} al-khafdlu
(merendahkan) merupakan kebalikan dari ar-raf’u (meninggikan)
{جَنَاحَ
الذُّلِ} : الطَّائِرُ مَعْرُوْفٌ أَنَّهُ يَرْفَعُ جَنَاحَهُ وَيُرَفْرِفُ بِهِ،
إِنْ أَرَادَ أَنْ يُطِيْرَ، وَيَخْفَضُهُ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَحْنُوَ عَلَى
صِغَارِهِ، وَيَحْتَضِنُهُمْ وَيُغْذِيْهِمْ.
{جَنَاحَ الذُّلِ}:
diketahui bahwa seekor burung akan mengangkat sayap dan mengepak-ngepakannya
ketika hendak terbang, dan merendahkannya ketika hendak mengasihi anak burung,
lalu mendekap dan melindunginya.
وَهٰذِهِ
صُوْرَةٌ مُحَسَّةٌ لَنَا، يَدْعُوْنَا الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى أَنْ
نَقْتَدِيْ بِهَا، وَأَنْ نُعَامِلَ الْوَالِدَيْنِ هٰذِهِ الْمُعَامَلَةِ،
فَنَحْنُوْ عَلَيْهِمْ، وِنَخْفَضُ لَهُمُ الْجَنَاحَ، كِنَايَةً عَنِ الطَّاعَةِ
وَالْحَنَانِ وَالتَّوَاضَعِ لَهُمَا، وَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ كَالطَّائِرِ
الَّذِيْ يَرْفَعُ جَنَاحِيْهِ لِيَطِيْرَ بِهِمَا مُتَعَالِياً عَلَى غَيْرِهِ.
Ini
merupakan gambaran kasih sayang bagi kita, Allah SWT. Menyeru kita
melakukan kebenaran yaitu: mengikuti gambaran tersebut, melakukan hal tersebut
terhadap kedua orang tua, menyayangi mereka dan merendahkan diri dengan penuh
kasih sayang. Sebagai bentuk kiasan dari ketaatan, rasa sayang dan tawadu’
terhadap mereka berdua. Hendaklah kamu menjadi seperti seekor burung yang
mengepakkan sayapnya untuk terbang tinggi bersama mereka.
Al-Qasimi (1978: 9-10:
219) menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
معنى قوله
تعالى و (واخفض لهما جناح الذلّ) تَذَلَّلْ لهما و تواضع. و فيه استعارة
مكنية و تحييلية.
Makna firman Allah
swt: واخفض لهما جناح الذلّ (dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang), yakni
merendahkan diri dan tawadlu terhadap keduanya, dalam ayat ini terdapat istiarah makniyyah dan
tahliliyyah.
Kata الذلّ menyerupai bagian-bagiannya dengan
penyerupaan yang samar, maka tetaplah dosa yang terbayang-bayang, dan
merendahkan secara terdidik. خفضه sesuatu yang dikerjakan ketika
menghimpun anak burung untuk dipelihara, lafadz ini merupakan isti’arah
tashrihiyyah.
(و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا) أى رب!
تعطف عليهما برحمتك و مغفرتك, كما تعطفا علىّ فى صغرى, فرحمان و ربيانى صغيرا حتى
استقلت بنفسى, واستغنيت عنهما. و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا
yakni ya rabb, kasihanilah mereka berdua dengan
rahmat dan magfirahmu. Sebagaimana mereka mengasihaniku ketika
kecil. Mereka menyayangi dan mengurus aku ketika kecil, sampai aku mandiri dan
berkecukupan karena mereka.
Ibnu Katsir (1986, 3: 37-38) menafsirkan
ayat tersebut sebagai berikut,
{وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ} أَيْ: تَوَاضَعَ لَهُمَا بِفِعْلِكَ {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا}
أَيْ: فِي
كبرهما وعند وفاتهما {كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَة
(dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan), Maksudnya bertawadhulah
kamu kepada keduanya melalui tindakanmu. (dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".) Yakni, pada usia tuanya dan
pada saat wafatnya. (sebagaimana mereka mengurusku
ketika kecil).
2. Makna Ijmali
As-Suyuti
dan Al-Mahalli menafsirkan ayat ini sebagai berikut: (Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap
keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada
keduanya (dan ucapkanlah, "Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya,
sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku
waktu kecil). (Hidayat, 2010: 568)
Ayat ini mengandung
perintah untuk bersikap tawadlu dan sopan terhadap kedua orang tua. Juga
printah untuk senantiasa mendo’akan mereka kapanpun, dimanapun dan
bagaimanapun keadaannya. Hal tersebut merupakan bentuk balasan ataupun terima
kasih anak, karena telah dididik, dipelihara, dibimbing sejak dari kecil hingga
mencapai usia baligh dan mandiri.
Terkait birrul waalidaini (berbakti kepada kedua orangtua), banyak hadits yang membahas hal ini. Diantaranya hadis yang
diriwayatkan melaui jalur Anas dan juga yang lainnya, bahwasanya Rasullullah
Saw. pernah menaiki mimbar kemudian berucap:
(امين امين
امين) قيل : يا رسول الله علام امنت؟ قال : ((أتلني جبريل فقال : يا محمد رغم أنف
رجلذكرت عنده فلم يصل عليك , قل : امين, فقلت: أمين, ثم قال رغم أنف رجل دخل عليه
شهر رمضان ثم خرج فلم يغفر له, قلْ: أمين, فقلت امين , ثم قال: رغم انف رجل أدرك
والديه او احدهما فلم يدخلاه الجنة, قلْ: امين, فقلت: أمين))
“Amin. Amin. Amin”. Lalu ditanyakan: ‘Ya
Rasulullah , apa yang engkau amin-kan tadi? Beliau menjawab: ‘aku telah didatangi
Jibril, lalu ia berkata: ‘sungguh hina orang yang (namamu disebut di sisisnya),
namun ia tidak bershalawat kepadamu. Maka ucapkanlah amin.’ Maka aku
mengucapkan amin. Kemudian ia berkata lagi: sungguh hina orang yang masuk bulan
Ramadhan, lalu ia keluar darinya dengan tidak mendapat ampunan. Maka ucapkanlah
amin.’ Maka kuucapkan amin. Selanjutnya Jibril berkata: ‘Sungguh hina orang
yang mendapatkan kedua atau salah satu orang tuanya (masih hidup), namun
kesempatan bakti kepada keduanya tidak memasukkannya ke surga. Maka ucapkanlah
amin.” (Ibnu Katsir, 1986:
3:37-38)
Dikuatkan dengan hadits
yang berbunyi “ketika aku sedang duduk dekat Rasulullah Saw., tiba-tiba beliau
didatangi oleh seseorang dari kaum Anshar, lalu ia bertanya: ‘Ya Rasulullah,
masihkah ada sesuatu dari baktiku kepada orangtua yang dapat aku lalukan
setelah keduanya wafat?’ Beliau menjawab: ‘Ya, masih ada empat perkara, yaitu
menshalatkan keduanya(shalat jenazah), memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan
janji keduanya, dan menghormati sahabat keduanya serta menyambung tali
silaturahim, yang engkau takkan mempunyai hubungan silaturahim kecuali melalui
keduanya. Demikian itulah yang masih tersisa bakti kepada kedua orangtua yang
harus kamu lakukan setelah keduanya wafat.’ (H. R. Abu Daud dan Ibu Majah). (Ibnu Katsir, 1986: 237)
Imam Ahmad
juga meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Saulami, bahwasanya Jahimah pernah datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Ya
Rasulullah, aku ingin ikut perang dan aku datang kepadamu untuk meminta saran,
maka beliau pun bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,”
jawabnya. Maka beliau berkat: “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu
terletak di kedua kakinya.” (An-Nasa’I dan Ibnu Majah) (Ibnu Katsir, 1986: 238)
قال الزمخشرى:
أى لا تكتف برحمتك عليهما التى لا بقاء لها, و ادع الله بأنّ يرحمهما رحمته
الباقية. واجعل ذالك جزاء لرحمتهما عليك فى صغرك و تربيتهما لك. و الكاف للتعليل.
أى لأجل تربيتهما لى.قال الطيبىّ: الكاف لتأكيد الوجود. كأنّه قيل:رب ارحمهما رحمة
محققة مكشوفة لا ريب فيها و هو وجه الحسن.
Az-Zamakhsyari berpendapat:
yakni, jangan menutup kasih sayangmu terhadap
keduanya, dan berdo’alah kepada Allah agar Dia merahmati mereka
selamanya. Jadikan hal tersebut sebagai balasan atas kasih sayang dan didikan
mereka kepadamu ketika kecil. Kaf pada ayat tersebut bermakna ta’lil, yaitu
bermakna karena
mereka telah mengurusku, At-Tiibi berkata: kaf pada ayat
ini berfungsi penguat arti, seolah-olah
berdo’a; ya tuhanku rahmatilah mereka berdua dengan rahmat yang sesungguhnya
dan seluas-luasnya yang tidak ada keraguan. yakni yang paling baik. (Ibnu Katsir, 1986: 238)
Sebagian
ulama salaf menganjurkan seseorang berdo’a untuk kedua orang tuanya pada tasyahud akhir
sebelum salam, karena itu merupakan waktu yang utama. Sungguh telah aku himpun
beberapa do’a yang diperuntukan bagi orangtua yang telah wafat atau salah satu
dari keduanya. Beberapa do’a yang aku himpun untuk kitabku (al-auraad
alma’tsurah), aku senantiasa berdo’a untuk keduanya pada waktu sahur,
antara adzan dan iqamat shalat subuh, aku berpendapat bahwa waktu tersebut
memiliki keutamaan dibanding waktu yang lain. (Ibnu Katsir, 1986: 238)
3. Nilai Tarbawi
Menurut Ath-Thabari, kata rabbayânî semakna
dengan nammayânî artinya menumbuhkembangkan. Dengan kata lain
setiap orang tua senantiasa mentarbiyah anaknya dengan bentuk mendidiknya di
waktu kecil serta menumbuhkembangkan fisik, mental serta potensi anak dengan
penuh kasih sayang hingga anak mencapai usia dewasa hingga bisa mandiri dan
mencukupi. (Rosyidin, 2003:35)
Sedangkan Al-Khawarijmi menjelaskan bahwa anak harus
mengasihi kepada orang tuanya dan berdo’a agar Allah memberikan rahmat yang
kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa batas. (Rosyidin,
2003:35)
Sementara, Al-Maraghi menjelaskan bahwa rabbayânî berarti,
bahwa dalam mendidik anaknya, orang tua harus senantiasa penuh kasih sayang
yang sempurna, telaten dan bertanggung jawab. Hal ini diperkuat oleh Al-Hijazi,
bahwa kedua orangtua itu telah mendidik anak diwaktu kecil. (Rosyidin, 2003:36)
Dilihat dari konteksnya, dalam kata rabbayânî terdapat
objek “nî” (aku) dan dihubungkan dengan kata shagîrâ (waktu
kecil), dengan demikian tarbiyat ditekankan pada pengembangkan
indiviidu sejak masa kecil.(Rosyidin, 2003:36)
Dengan demikian nilai tarbawi yang dapat diambil dari
ayat diatas; pertama, bahwa proses tarbiyah itu
bukan hanya pada saat kita duduk di bangku sekolah saja, melainkan pada saat
kecil pun kita sudah dididik oleh orang tua kita dengan penuh kasih sayang
hinga sampai kita beranjak dewasa. Peran orang tua akan
sangat berpengaruh terhadap sifat dan karakter anak, maka orang tua (pendidik) tidak
hanya berkewajiban mendidik, tapi juga memelihara, menjaga, membimbing dan
mengawasi.
Kedua, adab pendidik terhadap peserta didik
diantaranya; harus senantiasa penuh kasih sayang yang sempurna, telaten dan
bertanggung jawab.
Ketiga, peserta
didik seyogianya menyayangi orang tua atau pendidik, mendo’akan agar Allah
memberikan rahmat yang kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa
batas, tidak menjelek-jelekan mereka berkata dengan sopan dan rendah hati
dihadapan mereka.
C. Surat Asy-Syu’ara: 16
1. Tafsir Mufradat
فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُوْلآ إِنَّا رَسُوْلُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Maka datanglah
kamu berdua kepada Fir’aun dan Katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami
adalah Rasul Tuhan semesta alam.”
Menurut
Al-Maragi (1974: 95-97), Maka datanglah dan berkatalah Musa dan Harun kepada
Fir’aun: sesungguhnya Allah telah mengutus kami kepadamu agar kamu membebaskan
dan memerdekakan Bani Israil – yang telah diperbudak selama 400 tahun – untuk
pergi ke Tanah Suci, tanah tumpah darah nenek moyang yang dijanjikan Allah
kepada kami melalui para Rasul-Nya.
2. Makna Ijmali
Allah
SWT. mengabarkan tentang perintah yang diberikan-Nya kepada seorang hamba dan
Rasul-Nya, yaitu Musa bin ‘Imraan as. ketika diseru dari sisi kanan gunung
Thursina, diajak bicara dan berdialog, diutus dan dipilih-Nya serta
diperintahkan-Nya untuk pergi kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Untuk itu
Allah SWT. berfirman dalam surat Asy-Syu’ara:10-14
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa
(dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun.
mengapa mereka tidak bertakwa?" berkata Musa: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. dan (karenanya)
sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
dan aku berdosa terhadap mereka, Maka aku takut mereka akan membunuhku".
Sebagaimana
firman Allah swt dalam
surat thaha: 25- 28
tBerkata Musa: "Ya
Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. dan mudahkanlah untukku urusanku, dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.
Seperti firman-Nya dalam
ayat yang lain: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabb-mu”. Yaitu, kami semua
diutus kepadamu, “Lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.” Yaitu,
lepaskanlah mereka dari tawanan, genggaman, paksaan dan siksaanmu. Karena mereka
adalah hamba-hamba Allah yang beriman dan tentara-tentara-Nya yang ikhlas,
sedangkan mereka berada bersamamu dalam keadaan mengalami siksaan yang pedih.
Ketika Musa berkata demikian kepadanya, Fir’aun menolak semua tuntutan itu dan
memandangnya dengan pandangan menghina dan merendahkan. Maka dia berkata: “Bukankah
kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami waktu kamu masih
kanak-kanak.” Yaitu, bukankah engkau telah kami asuh dilingkungan kami, di rumah kami dan
di pembaringan kami. Kami telah memberikan kesenangan selama beberapa tahun, kemudian engkau membalas kebaikan itu dengan
perilakumu membunuh seorang laki-laki diantara kami dan engkau berusaha
mengingkari pemberian kami kepadamu. Untuk itu dia berkata: “Engkau termasuk
golongan orang-orang yang tidak membalas guna,” yaitu orang-orang
pembangkang.
Al-Qurtubi
mengatakan, kemudian mereka berangkat menuju Fir’aun, tetapi baru setahun
kemudian mereka diberi izin untuk menghadap kepadanya.
Dengan menegur dan mengejek, Firaun berkata kepada Musa sambil
mengingatkan dua perkara:
“Fir’aun
menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu
kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari
umurmu.” (Asy-Syu’ara: 18)
Diriwayatkan bahwa Musa
tinggal bersama Firaun selama 18 tahun.
Dikatakan pula selama 30 tahun. Pertama-tama Fir’aun menyebut kebaikannya kepada Musa, yaitu
memelihara dan membesarkannya hingga dewasa; kemudian mencelanya karena telah
membunuh tukang rotinya yang termasuk orang-orang terdekat kepadanya. Dengan
demikian, Musa telah mengingkari nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh
Fir’aun.
Musa tidak menjawab ejekan Fir’aun terhadapnya, karena
hal itu sudah maklum dan tidak andil sedikitpun untuk mengarahkan risalah.
Sebab apabila rasul memiliki hujjah yang nyata atas
kerasulannya, maka dia akan maju menghadapi orang-orang yang dia di utus kepada
mereka, baik mereka memberinya nikmat
atau tidak. Oleh sebab itu Musa hanya menjawab perkara kedua (Asy-Syu’ara: 20) :
Berkata
Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu Termasuk
orang-orang yang khilaf.
Musa
berkata seraya menjawab Fir’aun : Aku lakukan perbuatan yang kamu sebutkan itu,
yaitu membunuh orang Qibti, sedangkan ketika itu aku tidak menduga bahwa
tinjuku akan merenggut nyawanya, tidak lain hanya untuk mendidiknya; tapi
ternyata tinjuku telah mengakibatkan kematiannya. (Ibnu Katsir, 1986:342)
Hal itu ditafsirkan oleh
Ibnu ‘Abbas, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
“Musa berkata: ‘Aku
telah melakukannya,’’ yaitu, dalam hal itu, “sedang aku diwaktu itu
termasuk orang-orang yang khilaf.” Yaitu, sebelum aku mendapatkan
wahyu dan sebelum Allah memberikan nikmat risalah dan kenabian untukku.
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan selain
mereka berkata: “sedang aku diwaktu itu termasuk orang-orang yang
khilaf,” yaitu, orang-orang yang jahil. Sedangkan Ibnu Juraij berkata:
“seperti itulah qira’at ‘Abdullah bin Mas’ud ra. “Lalu aku lari
meninggalkanmu ketika aku takut kepadamu,” dan ayat seterusnya. Yaitu, telah berlalu kisah
terdahulu dan telah datang urusan lain, dimana Allah telah mengutusku kepadamu.
Jika engkau mentaat, niscaya engkau akan selamat dan jika engkau melanggar,
niscaya engkau akan celaka. Kemudian Musa berkata: “Budi yang kamu limpahkan
kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani israil.” Yaitu,
kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku dan kebaikanmu yang telah
mengasuhku adalah balasan keburukan yang telah engkau lakukan kepada Bani
Israil, dimana engkau jadikan mereka sebagai budak dan pembantu yang dapat
engkau gunakan dalam pekerjaanmu dan meringankan kesulitan rakyatmu. Apakah
kebaikanmu kepada satu orang laki-laki dapat membalas sikap burukmu kepada
semua orang?! Artinya, apa yang telah engkau sebutkan itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan apa yang telah engkau lakukan terhadap mereka. (Ibnu Katsir 1986: 344-345)
3. Nilai Tarbawi
Ayat ini berkolerasi dengan ayat sesudahnya yaitu ayat
18,
Fir'aun menjawab:
"Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu
masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu.
Ayat tersebut menceritakan kisah Fir’aun dan Musa. Dalam
ayat diatas kata nurabbika dan walîdan secara
langsung menjelaskan tentang ihwal tarbiyat. Dalam menjelaskan
kata nurabbika dan walîdan ini, para mufassir
berbeda cara menjelaskannya, namun semuanya bisa diterima. (Rosyidin, 2003: 37)
Ash-Shâwi menjelaskan bahwa Fir’aun memberikan kesenangan
dengan mengurus Musa sejak kecil dengan pendidikan. Hal ini diperkuat oleh
Al-Jûzi, bahwa Fir’aun mengasuh Musa sejak kecil. (Rosyidin, 2003: 37)
Adapun lamanya proses pendidikan yang dilakukan Fir’aun,
para sahabat atau tabi’in berbeda pendapat, namun pada intinya sama yaitu
sampai usia baligh. (Rosyidin, 2003: 37)
Al-Hijazi menjelaskan bahwa ayat diatas menjelaskan
tentang jawaban Musa kepada Fir’aun, katanya: “Bagaimana mungkin engkau
(Fir’aun) merasa mendidikku dirumahmu padahal engkau telah menyiksa Bani Israil
dengan siksa yang pedih?”. Hal ini menunjukan bahwa Musa tidak berarti dididik
oleh Fir’aun sekalipun Fir’aun mengakuinya. Dengan kata lain, bahwa hakikatnya
Fir’aun mendidik dan membesarkan Musa itu dalam Fisiknya saja tidak mendidik
mental dan hati nuraninya. (Rosyidin, 2003: 37)
Dari penjelasan para mufassir di atas dapat disimpulkan
bahwa tarbiyah Fir’aun kepada Musa itu terjadi dalam pengurusan dan
perkembangan fisiknya saja, tidak mendidik mental dan hati nuraninya, karena
Fir’aun membesarkan Musa tidak dengan imannya. Dari ayat ini dapat diambil juga
suatu konsep bahwa proses tarbiyat terjadi dan berlaku pada masa
kanak-kanak dan juga terjadi pada masa dewasa. (Rosyidin, 2003: 38)
Dapat disimpulkan bahwa nilai tarbawi dari ayat tersebut;
a. Bahwa
tarbiyat atau pendidikan adalah: proses pengembangan jasad, ruh dan
akal fikirannya. Dilakukan dengan cara yang lemah lembut, penuh dengan
kasih sayang. Proses pendidikan berlangsung sejak kanak-kanak hingga beranjak
dewasa atau baligh.
b. Peserta
didik boleh saja menegur gurunya ketika melakukan kesalahan, tentunya dengan
cara ma’ruf.
c. Guru
harus menguatkan murid ketika menghadapi musibah dan memberikan solusi.
wallahu a'lam bish-showaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar