Selasa, 03 April 2012

Makna Tarbiyah Dalam Surat Al-Fatihah: 2, Al-Isra: 24 dan Asy-Syu'ara: 16


Hamdan wa syukran lillah, setiap untaian tasbih, tahmid, takbir dan tahlil senantiasa tercurah pada Ilahi, yang tak hentinya mengalirkan beribu macam nikmat, mengatur segala urusan makhluk-Nya.
            Berbicara tentang tarbiyah, akan sangat erat kaitannya dengan ilmu, yang sama sekali tak bisa dipisahkan dengan Islam, karena wahyu pertama yang Nabi Muhammad Saw. terima merupakan perintah untuk membaca, yang merupakan salah satu cara mendapatkan ilmu. Berikut firman-Nya dalam surat Al-‘Alaq: 1-5,
اقْرَأْبِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اقْرَأْوَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
            Terdapat dua lafadz dalam ayat di atas yang diulang, yakni lafadz ‘iqra’ dan ‘allama’. Kata iqra terulang sebanyak dua kali, ini menunjukan bahwa membaca tidak cukup hanya satu kali saja, akan tetapi memerlukan pengulangan. Sedangkan kata ‘allama terulang dua kali, hal ini juga menunjukan proses mengajar yang harus berulang-ulang.
            Kembali kepada pembahasan tarbiyah atau biasa diartikan pendidikan, Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009: 19) mengemukakan bahwa secara umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar kata yang berbeda;- يربو  ربا yang semakna dengan- ينمو  نما berkembang,  ربي- يربي yang berarti tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
            Akan sangat menarik jika pembahasan tarbiyah ini dilengkapi dengan beberapa ayat Al-Quran yang saling berkaitan. Maka disini penulis memadukan tiga ayat Al-Quran yang akan sangat membantu dalam memahami makna tarbiyah yang sesungguhnya; surat Al-Fatihah: 2, Al-Isra: 24 dan Asy-Syu’ara: 16. Dengan mengambil beberapa kitab tafsir, mudah-mudahan dapat lebih mengantarkan memahami makna tarbiyah, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan.

A.      Surat Al-Fatihah: 2
1.         Tafsir Mufradat

الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
 ‘segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam’.
As-Sa’adi dalam tafsirnya (1: 30) mengemukakan bahwa:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ } [هو] الثناء على الله بصفات الكمال، وبأفعاله الدائرة بين الفضل والعدل،
 فله الحمد الكامل، بجميع الوجوه
  الْحَمْدُ لِلَّهmerupakan  pujian terhadap Allah SWT. karena sifat-sifat-Nya yang sempurna, juga karena perbuatanNya yang berkisar antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna dari berbagai aspek.
          Lebih lanjut Al-Qasimi (1978:1:6) menyebutkan: 
(الحَمْدُ للهِ ) أي الثناء بالجميل , والمدح بالكمال ثابت لله دون سائر ما يعبد من دونه,
ودون كل ما برأ من خلقه. واللام فى ((الحمد)) للاستغراق أى استغراق جميع أجناس
 الحمد وثبوتها لله تعالى تعظيماً وتمجيداً
(الحَمْدُ للهِ ) yaitu pujian yang indah dan sempurna hanya untuk Allah semata. Huruf lam dalam kata الحمد bermakna istigraq, yakni menghimpun semua jenis pujian dan menetapkannya hanya untuk Allah semata sebagai bentuk pengagungan.
          Adapun Al-Maragi menyebutkan (1974, 1:30):
 (رب) هو السيد المربّى الذي يسوس من يربّيه ويدبّر شئونه.
Rabb adalah Tuan, pengurus yang menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur semua kebutuhannya.
 (العالمين) واحدهم عالم (بفتح اللام) ويراد به جميع الموجودات ، وقد جرت عادتهم ألا يطلقوا هذا اللفظ إلا على كل جماعة متمايزة لأفرادها صفات تقربها من العقلاء إن لم تكن منهم ، فيقولون عالم الإنسان ، وعالم الحيوان وعالم النبات ، ولا يقولون عالم الحجر ، ولا عالم التراب ، ذاك أن هذه العوالم هى التي يظهر فيها معنى التربية الذي يفيده لفظ (رب) إذ يظهر فيها الحياة والتغذية والتوالد.
Kata العالمين mufradnya العالم, yakni semua makhluk yang ada, lafadz ini biasa nya digunakan untuk suatu kumpulan yang terpisah satu sama lain dengan sifat-sifat yang mendekati akal jika tidak terdapat pada mereka. Seperti perkataan: alam manusia, alam hewan dan alam tumbuhan. Tapi tidak boleh digunakan untuk alam batu, alam tanah. Hal tersebut karena alam-alam ini tidak mengandung makna tarbiyah yang semakna dengan lafadz rabb, adapun jika tampak padanya kehidupan, makanan dan berkembangbiak
          Sedangkan menurut Ibnu Katsir (1986, 1: 131)
{ رَبِّ الْعَالَمِينَ } والرب هو: المالك المتصرف، ويطلق في اللغة على السيد، وعلى المتصرف للإصلاح، وكل ذلك صحيح في حق الله تعالى.[ولا يستعمل الرب لغير الله، بل بالإضافة تقول: رب الدار رب كذا، وأما الرب فلا يقال إلا لله عز وجل، وقد قيل: إنه الاسم الأعظم]. والعالمين: جمع عالم، [وهو كل موجود سوى الله عز وجل] ، والعالم جمع لا واحد له من لفظه، والعوالم أصناف المخلوقات [في السماوات والأرض] في البر والبحر، وكل قرن منها وجيل يسمى عالمًا أيضًا.(إبن كثير : ۱ : ۱٣۱)
Rabb: raja yang menguasai, secara bahasa lafadz rabb mengandung makna: tuan, seorang penguasa wajib mengishlahkan, dan semua makna tersebut adalah benar merupakan hak Allah SWT.
Lafadz rabb tidak digunakan untuk selain Allah, kecuali jika diidafatkan, seperti: rabb ad-daar, Adapun lafadz ar-rabb hanya khusus untuk Allah swt, dikatakan bahwa: rabb itu merupakan nama yang agung. العالمين: jama dari kata العالم, yakni semua makhluk selain Allah SWT. Sedangkan lafadz ‘Aalam merupakan isim jama yang tidak ada lafadz mufradnya. Alam-alam tersebut merupakan bagian-bagian makhluk, yakni yang ada di bumi maupun di langit, di darat maupun di laut, dan setiap zaman beserta pengisinya disebut juga alam.
Sejalan dengan pendapat diatas, Al-Qasimi (1978:1:6) menuturkan:
((رَبِّ العَالَمينَ)) الرب يطلق على السيد المطاع و على المصلح وعلى المالك. – تقول : ربّه يَرُبٌّه فهو ربّ كما تقول: نمّ عليه ينمّ فهو نمّ- فهو صفة مشبهة, ويجوز أن يكون مصدراًبمعنى التربية وهى:تبليغ الشىء إلى كما له شيئاً فشيئاً. وصف به الفاعل مبالغة كما وصف بالعدل. والرب – باللام – لا يقال إلا لله عزّ وجلّ. وهو فى غيره على التقييد بالإضافة – كربّ الدار –. و (( العالمين )) جمع عالم وهو : الخلق كلّه وكل صنف منه. وإيثار صيغة الجمع لبيان شمول ربوبيته تعالى الجميع الأجناس. والتعربف لاستغراق أفراد كل منها بأسرها
رَبِّ العَالَمينَ , Rabb berarti tuan yang ditaati, yang membereskan dan raja. Berasal dari kata ربّ- يربّ- ربّ  yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya bisa juga semakna dengan lafadz  التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu sampai sempurna sesuatu, pelaku penyampainya disifati dengan sifat seperti adil. Lafadz Ar-rabb hanya untuk Allah semata, adapun jika digunakan untuk makhluk maka harus memakai idafat seperti: rabb ad-daar. Al-‘aalamiin merupakan jama dari kata ‘aalam, yaitu semua makhluk dengan berbagai macamnya, fungsi dari bentuk jama (الْعَالَمِيْنَ) untuk menjelaskan cakupan ketuhanan Allah SWT. Terhadap berbagai jenis makhluk. Definisi lil-istigrak adalah menyatukan semua bagian dengan yang lainnya.

2.          Makna Ijmali
  Surat al-Fatihah: 2 ini merupakan salah satu ayat yang sering dibaca, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Kalimat  الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ  juga seringali diucapkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala bentuk nikmat yang Allah amanatkan kepada manusia.
Makna ربّ العالمين  menurut Imam Asy-Suyuti dan Al-Mahalli mengemukakan bahwa: (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafadz 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafadz '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menunjukan makhluk berakal. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat bahwa alam merupakan tanda bagi adanya yang menciptakannya. (Hidayat, 2010: 1)
Adapun Imam Abul Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasqy (1986, 1: 23-26) menafsirkan ayat ini dengan terlebih dahulu mengemukakan perbedaan membaca diantara ahlul quraa,
القراءالسبعة على ضم الدال في قوله الحمد لله هومبتدأ و خبر وروي عن صفيان بن عيينه رؤبة العجاج انّهما قال (الحمدَ لله) باالنصب و هو على إضمار فعل وقرأ ابن عبلة (الحمدُ لله) بضم الدال واللام إتباعا للثاني الأول وله شواهد لكنّه شاذ وعن الحسن وزيد بن علي (الحمدُ لله) بكسر الدال إتباعا للاوّل الثاني
Al-qurra’ as-Sab’ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf dal  الحمدُ لله, yang merupakan mubtada (subjek) dan khobar (predikat). Diriwayatkan dari Sufyan ibn Uyainah dan Ru’bah al-‘Ajaj, bahwa mereka berpendapat الحمدَ لله dinasabkan karena menyembunyikan fi’il. Adapun Ibn Ablah membacanya dengan mendomahkan dal   الحمدُ لله karena mengikuti kepada kata kedua pertama, ia juga memiliki beberapa saksi akan tetapi syad, dan Al-Hasan serta Zaid ibn Ali membacanya dengan mengkasrahkan dal   الحمدِ لله karena mengikuti kata pertama kedua.
قال أبو جعفربن جرير معنى (الحمد لله) الشكر لله خالصا دون سائرما يعبد من دونه , ودون كل ما برأ من خلقه بما انعم على عباده من انعم اللتي لا يحصيها العدد , ولا يحيط بعددها غيرأحد
Abu Ja’far bin Jarir mengatakan Alhamdulillah berarti syukur kepada Allah semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan pula pada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tak terhingga jumlahnya, dan tak ada seorangpun selain Dia yang tahu jumlahnya.
Lebih lanjut Ibnu Jarir (Ibnu Katsir, 1986:1:25) menyebutkan: di kalangan para ulama mutaa’khirin, alhamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat- sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun asy-syukru dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan.
          Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Al-hamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan juga pihak lain, misalnya anda katakan: “Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang ksatria dan kedermawanannya.” Tetapi juga lebih khusus karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterimakasih kepadanya atas sifatnya yang ksatria, namun bisa dikatakan aku berterimakasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
          Dengan demikin dapat ditarik garis besarnya bahwa   الحمدُ للهmerupakan segala pujian yang dihaturkan hanya untuk Allah semata karena sifat-sifat-Nya yang agung, diungkapkan melalui lisan. Berbeda halnya dengan الشكر yang berarti pujian karena kebaikan yang berupa nikmat atau pemberian, lafadz ini bisa digunakan kepada Allah ataupun manusia, dan diungkapkan bisa berbentuk lisan, perbuatan ataupun hati.
          رَبِّ الْعَالَمِيْنَ rabb memiliki beberapa arti; berarti tuan yang ditaati, yang membereskan, raja, seorang penguasa yang wajib mengishlahkan, Rabb adalah Tuan, pengurus yang menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur semua kebutuhannya. kata ربّ- يربّ- ربّ  yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya semakna dengan lafadz  التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu sampai sempurna sesuatu tersebut. Rabb tidak bisa digunakan untuk menyebut manusia atau makhluk, kecuali jika didafatkan dengan kata lain seperti; rabb al-bait (pemilik rumah) (Ibnu Katsir, 1986:1:26).
            الْعَالَمِيْنَ bentuk jama’ dari الْعَالَم, yang berarti alam; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan dan sebagainya. Kata tersebut diatas merupakan isim jinsi yang tidak ada bentuk mufradnya, karena baik الْعَالَمِيْنَ ataupun  الْعَالَمِ bermakna jama, seperti halnya kata قوم dan  رهطyang berarti kelompok atau golongan. (Ibnu Katsir, 1986:1:26)
Setiap pujian yang indah hanya milik Allah SWT. Karena Dialah sumber semua kehidupan. yakni Dialah yang menguasai seluruh alam, mengatur mereka dari penciptaan hingga akhir dan memberi sesuatu yang baik dan islah bagi mereka. Maka, hanya bagi-Nyalah segala puji yang baik dan ungkapan syukur atas kebaikan-Nya.
Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009:19) mengemukakan bahwa secara umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar kata yang berbeda;- يربو  ربا yang semakna dengan- ينمو  نما berkembang,  ربي- يربي yang berarti tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
Dalam litelatur bahasa arab, selain kata tarbiyah terdapat empat kata lain yang sering kali diartikan pendidikan atau pengajaran; ta’lim, tadris, tahdzib, dan ta’dib. Tarbiyah merupakan pendidikan menyeluruh terhadap manusia yang meliputi; jasmani, akal, akhlak, sosial, emosional, estetika dan lain sebagainya, tarbiyah juga berlangsung secara kontinu. (Rosyidin, 2009:20)
Ta’lim lebih menekankan pada aspek kognitif dan keterampilan, secara bahasa ta’lim semakna dengan al-i’lam, yakni pemberitahuan informasi. Proses ta’lim dilakukan secara berulang-ulang sehingga dapat diingat. Ta’lim tidak menuntut lebih dari guru yang melaksanakan pengajaran, peserta didik hanya harus memperhatikan dan mendengarkan materi yang disampaikan guru. (Rosyidin, 2009: 20-21)
Tadris merupakan bentuk masdar dari darasa- yadrusu, yang berarti membaca dengan terus-menerus, berulang-ulang agar dihapal. Selanjutnya tadris diartikan mengajar. Proses tad’ris memiliki beberapa tahapan; membacakan, membicarakan, menjelaskan, mengimlakan, menulis, membandingkan, menganalisis, menilai dan menyimpulkan. (Rosyidin, 2009: 22)
Tahdzib bermakna membersihkan, membetulkan, memperbaiki agar terhindar dari hal-hal yang tidak perlu, dan membersihkan yang sudah ada. Aziz Salim mendefinisikan tahdzib dengan pembinaan akhlak, perbaikan prilaku, pembangkitan nurani, penajaman cita-cita dan pendidikan kemauan atas asas-asas keIslaman, hingga akan terbentuk insan muslim yang sebenarnya. (Rosyidin, 2009: 23)
Ta’dib berarti budi pekerti yang baik, prilaku terpuji, sopan santun, melatih jiwa dan memperbagus akhlak. Dengan kata lain ta’dib berarti pendidikan adab, akhlak, etika, prilaku. (Rosyidin, 2009: 24)
Al-Maragi (1974, 1: 30) membagi tarbiyah dalam dua kategori;
Tarbiyah Allah terhadap manusia terdapat dua; (1) tarbiyah khalqiyyah, yang berupa pertumbuhan anggota badan, hingga mencapai kematangan, juga berupa bertambah kuat psikis dan akal. (2) tarbiyah diniyyah tahdzibiyyah, berupa sesuatu yang di ilhamkan kepada beberapa individu, untuk menyampaikan kepada setiap manusia sesuatu yang dapat menyempurnakan akal pikiran dan membersihkan diri-diri mereka. Manusia tidak bisa mensyariatkan suatu beribadah, tidak pula menghalalkan sesuatu dan mengharamkan yang lainnya kecuali atas izin Allah SWT.
Sependapat dengan ungkapan Al-Maragi diatas, dengan istilah yang berbeda As-Sa’adi (1: 39) juga membagi Tarbiyah Allah SWT. kepada makhluk-Nya kepada dua bagian;
Umum, yakni berupa penciptaan Makhluk, memberi rizki, memberi hidayah untuk kemaslahatan mereka, yang hidayah itu didalamnya terdapat kekekalan di dunia. Khusus, tarbiyah Allah terhadap para peminpin mereka, Allah memelihara mereka dengan keimanan, memberi taupik kepada mereka, menyempurnakan mereka, membayar dari mereka perubahan-perubahan dan sesuatu yang menyibukan hubungan diantara Dia dan mereka. Hakikatnya: memelihara keberhasilan untuk setiap kebaikan, menjaga dari setiap kejelekan. Barangkali inilah makna rahasia dibalik banyaknya seruan para nabi dengan menggunakan lafadz rabb, karena sungguh setiap permintaan mereka berada dibawah pemeliharaan Allah SWT.

3.         Nilai Tarbawi
Menurut Al-Hijazi (Rosyidin, 2003: 23)  rabb adalah raja dan tuan, pada kata tersebut mengandung makna ketuhanan, pendidikan, dan bimbingan atau bantuan. Kata al-‘âlamîn jamak dari ‘alam, artinya alam itu banyak macamnya, selain alam Allah, ada juga alam manusia, binatang dan tumbuhan.
Kata rabb dalam surat al-Fatihah ayat 2 semakna juga dengan kata rabb dalam surat ash-Shâffat180
“Mahasuci Tuhanmu  yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan”.
Menurut Al-Hijazi, kata rabb mengandung makna bahwa rububiyyah Allah mengarahkan pendidikan supaya bersifat sejuk, penuh kasih sayang, perhatian, inspiratif dan menyenangkan atau tidak membosankan. (Rosyidin, 2003: 24)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa konsep pendidikan yang terkandung dalam kata rabb pada dua ayat tersebut adalah bahwa cakupan pendidikan itu meliputi fisik, perasaan, akal (intelektual), bakat (potensi) dan jiwa, sehingga mencapai kesempurnaan kemanusiaannya menurut pandangan Allah SWT. kemudian dia menjelaskan bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk memberikan kesenangan dan kemuliaan antara guru dan murid tanpa ada batas. (Rosyidin, 2003:25)
Sedangkan Ar-Raghib (Zakaria, 2008: 110) mendefinisikan rabb sebagai berikut;
إنشاء الشيئ حالا فحالا إلى حدّ التّمام
Menjadikan sesuatu setahap demi setahap, sampai batas yang sempurna.
Dengan demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, nilai tarbawi yang terkandung dalam ayat ini, yaitu:
a.       Allah SWT. Dialah maha guru, yang pertamakali mengajarkan ilmu pada manusia pertama, yaitu Adam as., maka segala ungkapan puji dan syukur hanya untuk Allah yang maha suci, atas segala sifat-sifat-Nya yang agung.
b.      Seorang pelajar, murid ataupun peserta didik harus berterimakasih kepada guru atas budi baiknya mendidik kita. Mendidik disini dalam artian tarbiyah, bukan sekedar mendidik tapi juga membimbing, mengawasi, menjaga dan mengajarkan.
c.       Proses tarbiyah bukan hanya sekedar mengajarkan saja, tapi juga membimbing, menuntun dan mendidik sampai peserta didik memahami dan mempraktekan ilmunya.

B.       Surat Al-Isra: 24
1.         Tafsir Mufradat
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “ dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasihsayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi (1418 H, 8463: 14) menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
{وَاخْفِضْ} : الْخَفْضُ ضِدُّ الرَّفْعِ.
{وَاخْفِضْ} al-khafdlu (merendahkan) merupakan kebalikan dari ar-raf’u (meninggikan)
{جَنَاحَ الذُّلِ} : الطَّائِرُ مَعْرُوْفٌ أَنَّهُ يَرْفَعُ جَنَاحَهُ وَيُرَفْرِفُ بِهِ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُطِيْرَ، وَيَخْفَضُهُ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَحْنُوَ عَلَى صِغَارِهِ، وَيَحْتَضِنُهُمْ وَيُغْذِيْهِمْ.
{جَنَاحَ الذُّلِ}: diketahui bahwa seekor burung akan mengangkat sayap dan mengepak-ngepakannya ketika hendak terbang, dan merendahkannya ketika hendak mengasihi anak burung, lalu mendekap dan melindunginya.
وَهٰذِهِ صُوْرَةٌ مُحَسَّةٌ لَنَا، يَدْعُوْنَا الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى أَنْ نَقْتَدِيْ بِهَا، وَأَنْ نُعَامِلَ الْوَالِدَيْنِ هٰذِهِ الْمُعَامَلَةِ، فَنَحْنُوْ عَلَيْهِمْ، وِنَخْفَضُ لَهُمُ الْجَنَاحَ، كِنَايَةً عَنِ الطَّاعَةِ وَالْحَنَانِ وَالتَّوَاضَعِ لَهُمَا، وَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ كَالطَّائِرِ الَّذِيْ يَرْفَعُ جَنَاحِيْهِ لِيَطِيْرَ بِهِمَا مُتَعَالِياً عَلَى غَيْرِهِ.
Ini merupakan gambaran  kasih sayang bagi kita, Allah SWT. Menyeru kita melakukan kebenaran yaitu: mengikuti gambaran tersebut, melakukan hal tersebut terhadap kedua orang tua, menyayangi mereka dan merendahkan diri dengan penuh kasih sayang. Sebagai bentuk kiasan dari ketaatan, rasa sayang dan tawadu’ terhadap mereka berdua. Hendaklah kamu menjadi seperti seekor burung yang mengepakkan sayapnya untuk  terbang tinggi bersama mereka.
Al-Qasimi (1978: 9-10: 219) menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
معنى قوله تعالى و (واخفض لهما جناح الذلّ) تَذَلَّلْ لهما و تواضع. و فيه استعارة مكنية و تحييلية.
Makna firman Allah swt: واخفض لهما جناح الذلّ (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang), yakni merendahkan diri dan tawadlu terhadap keduanya, dalam ayat ini terdapat istiarah makniyyah dan tahliliyyah.
Kata الذلّ menyerupai bagian-bagiannya dengan penyerupaan yang samar, maka tetaplah dosa yang terbayang-bayang, dan merendahkan secara terdidik. خفضه sesuatu yang dikerjakan ketika menghimpun anak burung untuk dipelihara, lafadz ini merupakan isti’arah tashrihiyyah.
(و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا) أى رب! تعطف عليهما برحمتك و مغفرتك, كما تعطفا علىّ فى صغرى, فرحمان و ربيانى صغيرا حتى استقلت بنفسى, واستغنيت عنهما. و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا 
               yakni ya rabb, kasihanilah mereka berdua  dengan rahmat dan magfirahmu. Sebagaimana mereka mengasihaniku ketika kecil. Mereka menyayangi dan mengurus aku ketika kecil, sampai aku mandiri dan berkecukupan karena mereka.
               Ibnu Katsir (1986, 3: 37-38) menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,
{وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ} أَيْ: تَوَاضَعَ لَهُمَا بِفِعْلِكَ {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا}
أَيْ: فِي كبرهما وعند وفاتهما {كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَة
(dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan), Maksudnya bertawadhulah kamu kepada keduanya melalui tindakanmu. (dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".) Yakni, pada usia tuanya dan pada saat wafatnya. (sebagaimana mereka mengurusku ketika kecil).

2.      Makna Ijmali
As-Suyuti dan Al-Mahalli menafsirkan ayat ini sebagai berikut: (Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada keduanya (dan ucapkanlah, "Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku waktu kecil). (Hidayat, 2010: 568)
Ayat ini mengandung perintah untuk bersikap tawadlu dan sopan terhadap kedua orang tua. Juga printah untuk senantiasa mendo’akan mereka kapanpun,  dimanapun dan bagaimanapun keadaannya. Hal tersebut merupakan bentuk balasan ataupun terima kasih anak, karena telah dididik, dipelihara, dibimbing sejak dari kecil hingga mencapai usia baligh dan mandiri.
Terkait  birrul waalidaini (berbakti kepada kedua orangtua)banyak hadits yang membahas hal iniDiantaranya hadis yang diriwayatkan melaui jalur Anas dan juga yang lainnya, bahwasanya Rasullullah Saw. pernah menaiki mimbar kemudian berucap:
 (امين امين امين) قيل : يا رسول الله علام امنت؟ قال : ((أتلني جبريل فقال : يا محمد رغم أنف رجلذكرت عنده فلم يصل عليك , قل : امين, فقلت: أمين, ثم قال رغم أنف رجل دخل عليه شهر رمضان ثم خرج فلم يغفر له, قلْ: أمين, فقلت امين , ثم قال: رغم انف رجل أدرك والديه او احدهما فلم يدخلاه الجنة, قلْ: امين, فقلت: أمين))
“Amin. Amin. Amin. Lalu ditanyakan: ‘Ya Rasulullah , apa yang engkau amin-kan tadi? Beliau menjawab: ‘aku telah didatangi Jibril, lalu ia berkata: ‘sungguh hina orang yang (namamu disebut di sisisnya), namun ia tidak bershalawat kepadamu. Maka ucapkanlah amin.’ Maka aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata lagi: sungguh hina orang yang masuk bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya dengan tidak mendapat ampunan. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin. Selanjutnya Jibril berkata: ‘Sungguh hina orang yang mendapatkan kedua atau salah satu orang tuanya (masih hidup), namun kesempatan bakti kepada keduanya tidak memasukkannya ke surga. Maka ucapkanlah amin.” (Ibnu Katsir, 1986: 3:37-38)
Dikuatkan dengan hadits yang berbunyi “ketika aku sedang duduk dekat Rasulullah Saw., tiba-tiba beliau didatangi oleh seseorang dari kaum Anshar, lalu ia bertanya: ‘Ya Rasulullah, masihkah ada sesuatu dari baktiku kepada orangtua yang dapat aku lalukan setelah keduanya wafat?’ Beliau menjawab: ‘Ya, masih ada empat perkara, yaitu menshalatkan keduanya(shalat jenazah), memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, dan menghormati sahabat keduanya serta menyambung tali silaturahim, yang engkau takkan mempunyai hubungan silaturahim kecuali melalui keduanya. Demikian itulah yang masih tersisa bakti kepada kedua orangtua yang harus kamu lakukan setelah keduanya wafat.’ (HR. Abu Daud dan Ibu Majah). (Ibnu Katsir, 1986: 237)
                   Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Saulami, bahwasanya Jahimah pernah datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, aku ingin ikut perang dan aku datang kepadamu untuk meminta saran, maka beliau pun bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,” jawabnya. Maka beliau berkat: “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu terletak di kedua kakinya.” (An-Nasa’I dan Ibnu Majah)  (Ibnu Katsir, 1986: 238)
قال الزمخشرى: أى لا تكتف برحمتك عليهما التى لا بقاء لها, و ادع الله بأنّ يرحمهما رحمته الباقية. واجعل ذالك جزاء لرحمتهما عليك فى صغرك و تربيتهما لك. و الكاف للتعليل. أى لأجل تربيتهما لى.قال الطيبىّ: الكاف لتأكيد الوجود. كأنّه قيل:رب ارحمهما رحمة محققة مكشوفة لا ريب فيها و هو وجه الحسن.
Az-Zamakhsyari berpendapat: yakni, jangan menutup kasih sayangmu  terhadap keduanya, dan berdo’alah kepada Allah agar Dia merahmati  mereka selamanya. Jadikan hal tersebut sebagai balasan atas kasih sayang dan didikan mereka kepadamu ketika kecil. Kaf pada ayat tersebut bermakna ta’lil, yaitu bermakna karena mereka telah mengurusku,  At-Tiibi berkata: kaf pada ayat ini berfungsi penguat arti, seolah-olah berdo’a; ya tuhanku rahmatilah mereka berdua dengan rahmat yang sesungguhnya dan seluas-luasnya yang tidak ada keraguan. yakni yang paling baik. (Ibnu Katsir, 1986: 238)
Sebagian ulama salaf menganjurkan seseorang berdo’a untuk kedua orang tuanya pada tasyahud akhir sebelum salam, karena itu merupakan waktu yang utama. Sungguh telah aku himpun beberapa do’a yang diperuntukan bagi orangtua yang telah wafat atau salah satu dari keduanya. Beberapa do’a yang aku himpun untuk kitabku (al-auraad alma’tsurah), aku senantiasa berdo’a untuk keduanya pada waktu sahur, antara adzan dan iqamat shalat subuh, aku berpendapat bahwa waktu tersebut memiliki keutamaan dibanding waktu yang lain. (Ibnu Katsir, 1986: 238)

3.      Nilai Tarbawi
Menurut Ath-Thabari, kata rabbayânî semakna dengan nammayânî artinya menumbuhkembangkan. Dengan kata lain setiap orang tua senantiasa mentarbiyah anaknya dengan bentuk mendidiknya di waktu kecil serta menumbuhkembangkan fisik, mental serta potensi anak dengan penuh kasih sayang hingga anak mencapai usia dewasa hingga bisa mandiri dan mencukupi. (Rosyidin, 2003:35)
Sedangkan Al-Khawarijmi menjelaskan bahwa anak harus mengasihi kepada orang tuanya dan berdo’a agar Allah memberikan rahmat yang kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa batas. (Rosyidin, 2003:35)
Sementara, Al-Maraghi menjelaskan bahwa rabbayânî berarti, bahwa dalam mendidik anaknya, orang tua harus senantiasa penuh kasih sayang yang sempurna, telaten dan bertanggung jawab. Hal ini diperkuat oleh Al-Hijazi, bahwa kedua orangtua itu telah mendidik anak diwaktu kecil. (Rosyidin, 2003:36)
Dilihat dari konteksnya, dalam kata rabbayânî terdapat objek “” (aku) dan dihubungkan dengan kata shagîrâ (waktu kecil), dengan demikian tarbiyat ditekankan pada pengembangkan indiviidu sejak masa kecil.(Rosyidin, 2003:36)
Dengan demikian nilai tarbawi yang dapat diambil dari ayat diatas; pertama, bahwa proses tarbiyah itu bukan hanya pada saat kita duduk di bangku sekolah saja, melainkan pada saat kecil pun kita sudah dididik oleh orang tua kita dengan penuh kasih sayang hinga sampai kita beranjak dewasa. Peran orang tua akan sangat berpengaruh terhadap sifat dan karakter anak, maka orang tua (pendidik) tidak hanya berkewajiban mendidik, tapi juga memelihara, menjaga, membimbing dan mengawasi.
Keduaadab pendidik terhadap peserta didik diantaranya; harus senantiasa penuh kasih sayang yang sempurna, telaten dan bertanggung jawab.
Ketiga, peserta didik seyogianya menyayangi orang tua atau pendidik, mendo’akan agar Allah memberikan rahmat yang kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa batas, tidak menjelek-jelekan mereka berkata dengan sopan dan rendah hati dihadapan mereka.

C.      Surat Asy-Syu’ara: 16
1.         Tafsir Mufradat
فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُوْلآ إِنَّا رَسُوْلُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan Katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam.”
                               Menurut Al-Maragi (1974: 95-97), Maka datanglah dan berkatalah Musa dan Harun kepada Fir’aun: sesungguhnya Allah telah mengutus kami kepadamu agar kamu membebaskan dan memerdekakan Bani Israil – yang telah diperbudak selama 400 tahun – untuk pergi ke Tanah Suci, tanah tumpah darah nenek moyang yang dijanjikan Allah kepada kami melalui para Rasul-Nya.
                              
2.         Makna Ijmali
Allah SWT. mengabarkan tentang perintah yang diberikan-Nya kepada seorang hamba dan Rasul-Nya, yaitu Musa bin ‘Imraan as. ketika diseru dari sisi kanan gunung Thursina, diajak bicara dan berdialog, diutus dan dipilih-Nya serta diperintahkan-Nya untuk pergi kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Untuk itu Allah SWT. berfirman dalam surat Asy-Syu’ara:10-14
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. mengapa mereka tidak bertakwa?" berkata Musa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun. dan aku berdosa terhadap mereka, Maka aku takut mereka akan membunuhku".
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat thaha: 25- 28
tBerkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.
Seperti firman-Nya dalam ayat yang lain: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabb-mu”. Yaitu, kami semua diutus kepadamu, “Lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.” Yaitu, lepaskanlah mereka dari tawanan, genggaman, paksaan dan siksaanmu. Karena mereka adalah hamba-hamba Allah yang beriman dan tentara-tentara-Nya yang ikhlas, sedangkan mereka berada bersamamu dalam keadaan mengalami siksaan yang pedih. Ketika Musa berkata demikian kepadanya, Fir’aun menolak semua tuntutan itu dan memandangnya dengan pandangan menghina dan merendahkan. Maka dia berkata: “Bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami waktu kamu masih kanak-kanak.” Yaitu, bukankah engkau telah kami asuh dilingkungan kami, di rumah kami dan di pembaringan kami. Kami telah memberikan kesenangan selama beberapa tahun, kemudian engkau membalas kebaikan itu dengan perilakumu membunuh seorang laki-laki diantara kami dan engkau berusaha mengingkari pemberian kami kepadamu. Untuk itu dia berkata: “Engkau termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna,” yaitu orang-orang pembangkang.
Al-Qurtubi mengatakan, kemudian mereka berangkat menuju Fir’aun, tetapi baru setahun kemudian mereka diberi izin untuk menghadap kepadanya.
Dengan menegur dan mengejek, Firaun berkata kepada Musa sambil mengingatkan dua perkara:
“Fir’aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu.” (Asy-Syu’ara: 18)
Diriwayatkan bahwa Musa tinggal bersama Firaun selama 18 tahun. Dikatakan pula selama 30 tahun. Pertama-tama Fir’aun menyebut kebaikannya kepada Musa, yaitu memelihara dan membesarkannya hingga dewasa; kemudian mencelanya karena telah membunuh tukang rotinya yang termasuk orang-orang terdekat kepadanya. Dengan demikian, Musa telah mengingkari nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh Fir’aun.
Musa tidak menjawab ejekan Fir’aun terhadapnya, karena hal itu sudah maklum dan tidak andil sedikitpun untuk mengarahkan risalah. Sebab apabila rasul memiliki hujjah yang nyata atas kerasulannya, maka dia akan maju menghadapi orang-orang yang dia di utus kepada mereka, baik mereka memberinya nikmat atau tidak. Oleh sebab itu Musa hanya menjawab perkara kedua (Asy-Syu’ara: 20) :
Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu Termasuk orang-orang yang khilaf.
 Musa berkata seraya menjawab Fir’aun : Aku lakukan perbuatan yang kamu sebutkan itu, yaitu membunuh orang Qibti, sedangkan ketika itu aku tidak menduga bahwa tinjuku akan merenggut nyawanya, tidak lain hanya untuk mendidiknya; tapi ternyata tinjuku telah mengakibatkan kematiannya. (Ibnu Katsir, 1986:342)
Hal itu ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Musa berkata: ‘Aku telah melakukannya,’’ yaitu, dalam hal itu, “sedang aku diwaktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.” Yaitu, sebelum aku mendapatkan wahyu dan sebelum Allah memberikan nikmat risalah dan kenabian untukku.
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan selain mereka berkata: “sedang aku diwaktu itu termasuk orang-orang yang khilaf,” yaitu, orang-orang yang jahil. Sedangkan Ibnu Juraij berkata: “seperti itulah qira’at ‘Abdullah bin Mas’ud ra. “Lalu aku lari meninggalkanmu ketika aku takut kepadamu,” dan ayat seterusnya. Yaitu, telah berlalu kisah terdahulu dan telah datang urusan lain, dimana Allah telah mengutusku kepadamu. Jika engkau mentaat, niscaya engkau akan selamat dan jika engkau melanggar, niscaya engkau akan celaka. Kemudian Musa berkata: “Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani israil.” Yaitu, kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku dan kebaikanmu yang telah mengasuhku adalah balasan keburukan yang telah engkau lakukan kepada Bani Israil, dimana engkau jadikan mereka sebagai budak dan pembantu yang dapat engkau gunakan dalam pekerjaanmu dan meringankan kesulitan rakyatmu. Apakah kebaikanmu kepada satu orang laki-laki dapat membalas sikap burukmu kepada semua orang?! Artinya, apa yang telah engkau sebutkan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah engkau lakukan terhadap mereka.  (Ibnu Katsir 1986: 344-345)

3.         Nilai Tarbawi
Ayat ini berkolerasi dengan ayat sesudahnya yaitu ayat 18,
 Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu.
Ayat tersebut menceritakan kisah Fir’aun dan Musa. Dalam ayat diatas kata nurabbika dan walîdan secara langsung menjelaskan tentang ihwal tarbiyat. Dalam menjelaskan kata nurabbika dan walîdan ini, para mufassir berbeda cara menjelaskannya, namun semuanya bisa diterima. (Rosyidin, 2003: 37)
Ash-Shâwi menjelaskan bahwa Fir’aun memberikan kesenangan dengan mengurus Musa sejak kecil dengan pendidikan. Hal ini diperkuat oleh Al-Jûzi, bahwa Fir’aun mengasuh Musa sejak kecil. (Rosyidin, 2003: 37)
Adapun lamanya proses pendidikan yang dilakukan Fir’aun, para sahabat atau tabi’in berbeda pendapat, namun pada intinya sama yaitu sampai usia baligh. (Rosyidin, 2003: 37)
Al-Hijazi menjelaskan bahwa ayat diatas menjelaskan tentang jawaban Musa kepada Fir’aun, katanya: “Bagaimana mungkin engkau (Fir’aun) merasa mendidikku dirumahmu padahal engkau telah menyiksa Bani Israil dengan siksa yang pedih?”. Hal ini menunjukan bahwa Musa tidak berarti dididik oleh Fir’aun sekalipun Fir’aun mengakuinya. Dengan kata lain, bahwa hakikatnya Fir’aun mendidik dan membesarkan Musa itu dalam Fisiknya saja tidak mendidik mental dan hati nuraninya. (Rosyidin, 2003: 37)
Dari penjelasan para mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa tarbiyah Fir’aun kepada Musa itu terjadi dalam pengurusan dan perkembangan fisiknya saja, tidak mendidik mental dan hati nuraninya, karena Fir’aun membesarkan Musa tidak dengan imannya. Dari ayat ini dapat diambil juga suatu konsep bahwa proses tarbiyat terjadi dan berlaku pada masa kanak-kanak dan juga terjadi pada masa dewasa. (Rosyidin, 2003: 38)
Dapat disimpulkan bahwa nilai tarbawi dari ayat tersebut;
a.       Bahwa tarbiyat atau pendidikan adalah: proses pengembangan jasad, ruh dan akal fikirannya. Dilakukan  dengan cara yang lemah lembut, penuh dengan kasih sayang. Proses pendidikan berlangsung sejak kanak-kanak hingga beranjak dewasa atau baligh.
b.      Peserta didik boleh saja menegur gurunya ketika melakukan kesalahan, tentunya dengan cara ma’ruf.
c.       Guru harus menguatkan murid ketika menghadapi musibah dan memberikan solusi.
 wallahu a'lam bish-showaab

 Sumber: 

Tidak ada komentar: