Selasa, 18 Desember 2012

ulul 'ilmi, icon HIMI PERSIS?


(studi analisis terhadap semboyan himi persis sebagai landasan pergerakan)

Eksesuki di pengujung semester 5,,,

semester lima akan berakhir kawan,,
siap-siap lambaikan tangan, dan katakan; 'daaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh.................' ;P
hhhhmmm, lelah sekali rasanya menikmati kehidupan kampus di semester ini. entah kenapa, mungkin karena terlalu gemuk ngontrak mata kuliah, atau juga karena harus berbagai dengan berbagai amanah lain, tapi biarlah.. yang pasti, semester ini akan segera berakhir horeeeeee
banyak sekali rintangan di semester ini;

semangat yang over, mengakibatkan saya sangat ingin membereskan semua mata kuliah semester 7 di semester ini, wooww! setelah dihitung semua mata kuliah yang dikontrak sebanyak 25 SKS, padahal diperaturannya juga maksimal 24, ohoho bagaimana ini? kan nanggung beeuudt ngegantung 1 mata kuliah, masa harus ditunda sampe taun depan?? ooh nooo!. tringgg!! otak nakalku mulai beraksi,,,,,,,, biar gak ketauan dosen PA pas bimbingan, aku tulis aja 23 SKS di FRS, tinggal minta tanda tangan dosen PA, trus ke Ketua jurusan, udah gitu aku tambahin dh buletan FRSnya biar jadi 25 SKS, dengan begitu semua mata kuliah di semester ini dan semester 7 beres, ntar smster 7 tinggal nyusun skripsi dh, beresssss -___-'

merasa terbebas dari beban sisa mata kuliah di semester 7, aku makin semanget deh, gimana enggak semanget. skripsi udh didepan mata... ckckck
temen-temen plus kakak tingkat pada 'riweuh' nanyain kenekatan aku ngambil 25 SKS -dengan cara yang tidak beradab ;D-; 
'beneran nih ngontak 25?" 
'emang diizinin sama PA?' 
'lha kok bisa lolos sh?' 
'gak akan digimanain gitu sama ketua jurusan?'
"ya udh, semangat aja ya, mudah-mudahan sukses'. bla,, bla,, bla,,
 dan berbagai pertanyaan lain yang semuanya aku jawan enteng; 'ia, diizinin da sama dosen PA juga". oohh jawaban tanpa dosa sekali, padahal ada setumpuk dosa dibalik udang, jawaban.. haha
pekan pertama, kedua, ketiga, masih pada riweuh dengan ulahku ,,
pekan keempat, saatnya FKKB, masa-masa perbaikan dosen atau mata kuliah yang dikontrak gitu,
tadinya gak kan ikutan -takut ketahuan 25-, eeeehh salah satu mata kuliah penting semester ini ada yang bentrok waktunya, kepaksa harus ngikut FKKB dh ;'( "mudah-mudahan bapak-bapak yang meriksanya yang ngelihat jumlah SKS aku dh, aamiin".
pekan kelima, salah satu pegawai TU manggil "ada panggilan tuh dari fakultas, suruh ngadep fakultas sekarang". "ia pak, ntar ya setengah jam lagi". pintaku. pas lewat kantor jurusan ada pengumuman "SITI LAELA JANIAH  ke FAKULTAS, KELEBIHAN NGONTRAK". alamakkkk!!! ketahuan jugaaaaa,,,, mau tidak mau harus mau ngebatalin salah satu mata kuliah. wal hasil.. dicancel 1 matkul dh, akibatnya, semester 7 masih ada 1 matkul lagi huhuhuhu. ingin rasanya berteriak sampil ngacak-ngacak isi gedung FPBS (fakultas pendidikan bahasa dan seni), huuuaaaaaaa
"g papa jen, 1 matkul di semester 7 mah bisa sambil nyusun da, kitanya aja kudu pinter ngobrol sama PA"
"jangan nangis ya, mungkin ini yang terbaik,"
"mudah-mudahan gak akan menghambat kelulusan di semester 7"
"aduhh,, sayang banget"
"sok atuh diperjuangkan kembali"
dan berbagai celetukan lain yang mencoba menghiburku,, mau tidak mau inilah kenyataannya,,, masa harus demo gara-gara harus ngecancel 1 matkul sh?? g elit banget aaahh

hal lain yang selalu mengeksekusi adalah ketika harus menghadapi hari selasa pagi dan kamis sore, hah ada apakah gerangan??. yups,, presentasi proposal penelitian alias proposal skripsi. serasa dieksekusi soalnya belum ngontrak yang namanya 'metode penelitian' yang merupakan syarat mengikuti mata kuliah presentasi proposal ini. disini kami -sang penyusup, meminjam bahasa dosennya- beradu kecerdasan dengan dosen, dan kakak tingkat, dan hari ini kami terbebas dari beban ini, oh amazing!! ma'as salamah,, ilalliqa

tiga mata kuliah oleh dosen yang sama; sosiolinguistik, evaluasi pembelajaran dan adab arabiy. hampir bisa dipastikan semua tugas dari 3 mtakuliah ini samaaaa, menerjemahkan, mensyakali, menulis kembali dengan tangan! ooohhh

detik-detik  menjelang berakhirnya semester ini ada banyak tugas ngantri; sima'ah materi evaluasi pembelajaran -??-, 80 % matkul melaksanakan UASnya dengan lisan, bab 1, 3 dan proposal penelitian oooohhhh


tapi sudahlaah, ini hanya sekedar refresh, menuangkannya lewat tulisan, sekalian belajar tulis-tulis walaupun GJ hihi, 
jika dinikmati dan dijalani, semua akan mengalir dan berjalan sesuai arusnya, seorang bijak berkata: "malam tak selamanya gelap, pagi kan tenggelamkannya dengan cahaya, kita hanya harus bertahan dikegelapan malam, untuk kemudian mendapatkan pagi". 

' kita semua sama, terpenjara dalam kesendirian. hanya saja, ada yang terkurung di ruang gelap tanpa cahaya, sementara yang lain menghuni kamar berjendela'.
-kahlil gibran-

Minggu, 12 Agustus 2012

Karkirah, Pembantu Nabi SAW yang terlibat korupsi*

berantas korupsi mulai dari diri sendiri!!


Indonesia dengan segudang budayanya, kerapkali merasa ketakutan akan pengklaiman budayanya yang merupakan karya cipta bangsa yang sarat akan nilai identisas dan kekhasan negeri ini. Betapa tidak, ada banyak budaya yang secara disadari atau tidak sudah diakui negara lain, entah karena kita yang kurang peka sehingga tak menyadarinya, atau mungkin negara lain yang terlalu cerdas untuk membudayakan budaya Indonesia di negerinya. Entahlahh,,.
Terlepas dari berbagai peristiwa klaim-klaiman, rupanya ketakutan negeri ini mulai diwujudkan dalam bentuk menciptakan kembali budaya baru bernama ‘Korupsi Wa Akhwaatuhaa’. Praktek ini marak diamalkan di berbagai strata sosial; mulai dari pejabat elit pemerintahan yang ngakunya Wakil Rakyat tapi pada realitanya rakyat tidak merasa terwakili, sampai pejabat di tingkat RT/RW, dengan berbagai jenis bentuk dan besarannya.. kalo semua sudah pada korup, lantas apa kabar Indonesia  masa depan??
Berikut penulis hidangkan sebuah catatan kecil terkait korupsi yang baru saja didapat dari seorang ulama besar yang juga merupakan guru penulis;
·         Korupsi


Sebuah firman-Nya berbunyi;
وما كان لنبيّ أن يغلّ و من يغلل يأت بما غلّ يوم القيامة ثمّ توفّى كلّ نفس ما كسبت و هم لا يظلمونƒ  
tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (Ali Imran: 161)

Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas ra. Bahwa setelah masa perang Badar, ada seorang laki-laki yang kehilangan tutup kepala berwarna merah. Lalu ada seseorang yang menuduhkan bahwa Nabi-lah yang mengambilnya, maka ayat ini-lah yang membantahnya sekaligus sebagai khabar bahwa setiap Nabi tidak akan pernah mencuri/ korupsi.juga balasan bagi pelaku korupsi.
Ada dua kisah yang cukup menggambarkan praktek korupsi pada zaman Nabi SAW;
Ø  Kisah Karkirah
Kisah ini tersebut dalam riwayat Al-Bukhari dan Abu Daud dalam kitab Fiqh sunnah (2: 683);
روى البخاري عن عبد الله عمرو قال: كان على ثقل النبيّ رجل يقال له كَركِرة فمات, فقال النبيّ صلّى الله عليه وسلّم: هو فى النار, فذهبوا ينظرون إليه فوجدوا عباءةً قد غلّها.
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ra, ia berkata: “ada seseorang yang bernama Karkirah, yaitu pembawa barang-barang Nabi SAW, ia mati dalam peperangan, lalu Nabi mengatakan: “ia masuk neraka”. Kemudian para sahabat memeriksanya, ternyata mereka mendapatkan sehelai pakaian yang ia korup dari ghanimah”.
و روى أبو داود: أنّ رجلا مات يوم خيبر من الأصحاب, فبلغ النبيّ صلّى الله عليه و سلّم فقال: صلّوا على صاحبكم, فتغيّرت وجوه الناس, فقال: إنّ صاحبكم غلّ في سبيل الله, ففتشوا متاعه فوجدوا خرزا من خرز اليهودي لا يساوى درهمين.
"Abu Daud juga meriwayatkan: bahwa seorang laki-laki shahabat Nabi mati pada perang Khaibar, kemudian sampai berita pada Nabi, lalu Nabi bersabda: “shalatkanlah sudara kamu”. Maka berubahlah wajah para shahabat karena kaget. Lalu Nabi bersabda: “sesungguhnya saudara kamu telah korup dalam perang di jalan Allah, maka periksalah barangnya”. Ternyata mereka menemukan perhiasan yang tidak seniai dengan dua dirham”.
 Karkirah seorang yang suka membawakan barang Nabi ketika perang, ketika ia wafat Nabi memponisnya masuk neraka, bagaimana para shahabat tidak kaget?,  bahkan Nabi enggan menshalati jenazahnya dan menyuruh para sahabat untuk menshalainya. Para sahabat bertanya-tanya,  apa gerangan yang membuat semua amalnya sia-sia??, ternyata,, ia menyembunyikan sehelai pakaian ghanimah yang belum dibagi bagian-bagiannya. Atau dalam riwayat Abu Daun; perhiasan yang beratnya tidak mencapai 2 dirmah-pun,  bagaimana jika banyak??
Na’udzu billah,, sekecil apapun  yang kita ambil dari hak orang lain akan diperhitungkan..
Ø  Kisah Nabi Muhammad SAW
Suatu ketika para sahabat melihat Nabi sedang beristirahat di tempat terbuka dengan terik matahari sehabis peperangan, mereka bermaksud melindungi Rasul dari panas matahari, lalu mereka mengambil beberapa kulit dari barang ghanimah yang belum ditentukan pembagiannya, ketika ditawarkan kepada Nabi SAW, beliau berkata:
أ تحبّون أن يستظلّ نبيُّكم في ظلّ النار؟
“sukakah kamu Nabimu berteduh di bawah api neraka?”(H. R. Abu Daud)
Subhanallah,, Rasulullah sangat berhati-hati lantaran barang-barang tersebut belum ditentukan pembagiannya, oleh karenanya masih belum jelas kepemilikannya, sehingga beliau enggan menggunakannya bahkan untuk sekedar melindungi diri dari terik matahari. Hadits ini juga menggambarkan bahwa mengambil atau memakai barang orang lain sangat tidak boleh sehingga Nabi mengatakan:“sukakah kamu Nabimu berteduh di bawah api neraka?”.
            Berikut ini jaminan dari tidak melakukan korupsi:
قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: لئن لم تغلّ أمّتي لم يكن لهم عدوّ أبدا
“Rasulullah SAW bersabda: “setiap musuh tidak akan dapat mengalahkan ummatku selama mereka tidak melakukan korupsi”.
            Hal ini terbukti, Negara-negara yang menumpak korupsi wa akhwaatuhaa seperti  Cina misalkan, perekonomian mereka berjalan dengan sangat pesat, para pejabat yang korupsi diganjar dengan ‘dimiskinkan’ sampai anak-cucunya, sehingga sedikit-demi sedikit budaya korupsi terkikis karena merasa takut dan kapok dengan hukuman yang sangat lumayan berat.
            Bagaimana dengan Indonesia??, para pejabatnya gemar mengembangkan budaya korupsi agar tidak diklaim Negara lain, mudah-mudahan dikemudian hari budaya ini bisa dikikis.

·         Suap-menyuap

Terkait hal ini, ada beberapa hadits berbunyi;
عن عبد الله بن عمرو قال: لعن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم الراشى و المرتشى. رواه أبو داود
“dari Abdullah ibn Amr ra., ia berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap”. (Abu Daud: 2: 270)
عن ا بن عمر رضي الله عنه عن النبيّ صلى الله عليه و سلّم قال: من استعاذكم بالله فأعيذه, و من  سألكم بالله فأعطوه, و من أتى إليكم معروفا فكافئوه, فإن لم تجدوا فدعوا له. رواه البيهقي
“dari Ibn Umar ra, dari Nabi SAW bersabda: “barang siapa yang memohon perlindungan kepadamu dengan nama Allah, maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta sesuatu kepadamu dengan nama Allah, maka berilah ia. Dan barang siapa yang mendatangkan kebaikan kepadamu, maka balaslah ia. Dan jika tidak mendapatkan (untuk membalasnya), maka do’akanlah ia”. (H. R. Al-Baihaki)
            Jelaslah disini bahwa baik yang menyuap maupun yang menerima suap sama-sama dilaknat. Islam mengajarkan untuk berbuat kebaikan selagi mampu, jika seseorang membantu kita, balasnya kebaikannya dengan apapun, jika tidak memiliki sesuatupun untuk membalasnya maka cukup dengan do’a.  satu hal yang mesti dicamkan, segala hal dilakukan dengan ikhlas dan tentunya ada dijalan-Nya.
            Catatan ini hanya bermaksud mengingatkan diri, jangan sampai budaya keji seperti korupsi dan suap menelisik diantara kehidupan kita. Mari hidup bersih, tanpa korupsi!! Say no to korupsi wa akhwaatuhaa!! Hhe
*disampaikan oleh K. H. A. Zakaria pada pengajian ahad pagi mesjid PP.PERSIS Viaduct tanggal 12 agustus 2012 dengan  judul makalah “usaha-usaha yang haram menurut Al-Quran”.

Selasa, 03 April 2012

Nama, Sifat dan Perbedaan Al-Quran dengan Al-Hadits



A.    Definisi Al-Quran
Salah satu pengertian Al-Quran dikemukakan oleh Imam Ali Ash-Shabuni (2003:8) sebagai berikut:
كَلاَمُ اللهِ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ اْلأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ,  اَلْمَكْتُوْبُ فِي الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ ، اَلْمُتَعَبِّدُ بِتِلاَوَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ اْلفَاتِحَةِ اَلْمُخَتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.
        "Kalam Allah yang tiada tandingannya (mu'jiz), diturunkan kepada Nabi Muhammad  saw. penutup para Nabi dan Rasul, melalui perantaraan al-Amin (Jibril a.s.), ditulis dalam mushhaf-mushhaf, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs ".

B.     Nama-nama  Al-Quran
Dalam pengantar studi ilmu Al-Quran karangan Syaikh Manna’ Al-Qaththan (2006:19) Banyak sebutan yang Allah berikan untuk Al-Quran, diantaranya :
1.      Al-Quran
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
 “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” ( QS. Al-Israa : 9)
Dalam terjemah Tafsir Jalalain (versi 2.0:111) dijelaskan bahwa (Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada) jalan (yang lebih lurus) lebih adil dan lebih besar (dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar).
2.      Al-Kitab
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
 “ Sesungguhnya Telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” ( QS. Al-Anbiya : 10)
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lainnya. Muhammad Abdullah Darraz berkata “Dinamakan Al-Quran karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua makna yang sangat relevan dengan kenyataan” kedua nama ini memberi isyarat, sepatutnya Al-Quran dipelihara dalam bentuk tulisan dan hafalan. Dengan demikian, apabila dianatara salah satunya ada yang keliru, maka yang lain akan meluruskannya. (Qhaththan, 2006: 20)
3.      Al-Furqan
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam“.  (QS. Al-Furqan : 1)
4.      Adz-Dzikr
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(QS. Al-Hijr:9)
5.      At-Tanzil
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam,”(QS. Asy-Syu’araa:192)

C.    Sifat-sifat Al-Quran
Allah SWT  juga, melukiskan Al-Quran dengan banyak sifat, diantaranya:
1.      Nur (cahaya)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
 “Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan Telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)”. (QS. An-Nisa : 174)
2.      Mau’izhah (nasehat)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
 “Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus : 57)
3.      Mubin (yang menjelaskan)
Ÿيَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
“Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”. (QS. Al-Maa’idah: 1)
4.      Al-Mubarak (yang diberkahi)
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan Ini (Al-Quran) adalah Kitab yang Telah kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya(QS. Al-An’am:92)
5.      Busyra (berita gembira)
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
 “Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 97)
6.      Aziz (yang mulia)
 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
 “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia”. (QS. Fushilat:41)
7.      Majid (yang dihormati)
 بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
 “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia” (QS. Al-Buruj:21)
8.      Basyir (pembawa berita gembira), dan Nadzir (pemberi peringatan) 
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ . بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
 “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan”. (QS Fusilat : 3-4 )

D.    Perbedaan Al-Quran dengan Hadits Qudsi
Ada beberapa perbedaan antara Al-Quran dengan hadits qudsi. Dan yang terpenting ialah;
1.      Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW dengan lafazhnya, yang dengannya orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Al-Quran itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al-Quran merupakan mukjizat abadi Hari Kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukzijat
2.      Al-Quran Al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai biasanya, “Allah Ta’ala telah berfirman.” Adapun hadits qudsi seperti telah dijelaskan sebelumnya, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadits qudsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan). Disini juga menggunakan ungkapan, “Allah telah berfirman atau Allah berfirman.” Terkadang juga diriwayatkan dengan disandarkan kepara Rasulullah SAW, tetapi penisbatannya bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan hadits  itu dari Allah. Maka disini dikatakan; Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
3.      Seluruh isi Al-Quran dinukil secara mutawatir , sehingga kepastiannya sudah mutlak (qath’I ats-tsubut). Sedang hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang dha’if (lemah).
4.      Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wahyu. Adapun hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah SAW Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.
5.      Membaca Al-Quran Al-Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam shalat.
….فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ.....
           “Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an” (Al-Muzammil; 20)
          
                       Nilai ibadah membaca Al-Quran juga terdapat dalam hadits,
            “Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alim satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Untuk hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membaca Al-Quran bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

E.     Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits nabawi ada 2 macam :
1.  Tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu; kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia dijelaskan kepada manusia dengan kata-kata darinya. Disini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi –di sisi perkataan- lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya, walaupun terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain.
2.      Taufiqi. Bagian lain adalah taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu; yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW, menurut pemahamannya terhadap Al-Quran, karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan Al-Quran, atau mengambil istinbath dengan perenungan dan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu akan mendiamkannya bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka wahyu akan turun untuk membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam Allah.
Dari sini jelaslah bahwa hadits nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu dapat dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad SAW,
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsu. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (An-Najm; 3-4)
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah. Hadits ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, dengan satu cara dari beberapa model pewahyuan, tetapi lafazhnya dari Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbatkannya hadits qudsi kepada Allah Ta’ala adalah penisbatan isinya (esensi), bukan penisbatan lafazhnya (redaksi). Sebab seandainya lafazh hadits qudsi itu berasal dari Allah, maka tentu tidak berbeda dengan Al-Quran; gaya bahasanya pun akan menantang, juga yang membacanya dianggap ibadah.
Tentang hal ini muncul dua syubhat;
Pertama; Hadits nabawi ini secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak kita namakan juga sebagai hadits qudsi?
Jawabannya ialah; Kita memastikan bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya nash syar’i yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW; Allah SWT telah berfirman (qaalallah), atau Allah Ta’ala berfirman (yaquulullah). Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda dengan hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti ini. Di samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu (yakni secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara tauqifi). Dengan demikian,kita namakan semuanya dengan nabawi sebagai nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.
Kedua; Apabila lafazh hadits qudsi itu dari Rasulullah, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbatkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti, “Allah SWT telah berfirman” atau “Allah SWT berfirman”?
Jawabannya; Hal seperti ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang mana suatu ucapan disandarkan berdasarkan kandungannya, bukan lafazhnya. Misalnya: ketika kita mengubah satu bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan berkata demikian”.begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan lainnya dengan lafazh yang bukan lafazh yang mereka ucapkan dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi tetap saja disandarkan kepada mereka.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?" Berkata Musa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan), Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami." Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil." Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya." (Asy-Syu’araa; 10-24)    
  
Sumber: 
Ali Ashobuni, Syekh Muhammad.(2003) At-Tibyan fi ‘Ulumu al-Quran. Mekkah: Dar al-Kutub al-Islamiyyah
Al-Qotthon, Manna’ Khalil. (2006) Pengantar studi ilmu al-Quran. Jakarta: Pustaka Kautsar
Zakaria, A. (2003). Al-Bayan Fii ‘ulum Al-Quran. Garut: Dar Ibnu Azka


Makna Tarbiyah Dalam Surat Al-Fatihah: 2, Al-Isra: 24 dan Asy-Syu'ara: 16


Hamdan wa syukran lillah, setiap untaian tasbih, tahmid, takbir dan tahlil senantiasa tercurah pada Ilahi, yang tak hentinya mengalirkan beribu macam nikmat, mengatur segala urusan makhluk-Nya.
            Berbicara tentang tarbiyah, akan sangat erat kaitannya dengan ilmu, yang sama sekali tak bisa dipisahkan dengan Islam, karena wahyu pertama yang Nabi Muhammad Saw. terima merupakan perintah untuk membaca, yang merupakan salah satu cara mendapatkan ilmu. Berikut firman-Nya dalam surat Al-‘Alaq: 1-5,
اقْرَأْبِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اقْرَأْوَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
            Terdapat dua lafadz dalam ayat di atas yang diulang, yakni lafadz ‘iqra’ dan ‘allama’. Kata iqra terulang sebanyak dua kali, ini menunjukan bahwa membaca tidak cukup hanya satu kali saja, akan tetapi memerlukan pengulangan. Sedangkan kata ‘allama terulang dua kali, hal ini juga menunjukan proses mengajar yang harus berulang-ulang.
            Kembali kepada pembahasan tarbiyah atau biasa diartikan pendidikan, Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009: 19) mengemukakan bahwa secara umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar kata yang berbeda;- يربو  ربا yang semakna dengan- ينمو  نما berkembang,  ربي- يربي yang berarti tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
            Akan sangat menarik jika pembahasan tarbiyah ini dilengkapi dengan beberapa ayat Al-Quran yang saling berkaitan. Maka disini penulis memadukan tiga ayat Al-Quran yang akan sangat membantu dalam memahami makna tarbiyah yang sesungguhnya; surat Al-Fatihah: 2, Al-Isra: 24 dan Asy-Syu’ara: 16. Dengan mengambil beberapa kitab tafsir, mudah-mudahan dapat lebih mengantarkan memahami makna tarbiyah, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan.

A.      Surat Al-Fatihah: 2
1.         Tafsir Mufradat

الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
 ‘segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam’.
As-Sa’adi dalam tafsirnya (1: 30) mengemukakan bahwa:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ } [هو] الثناء على الله بصفات الكمال، وبأفعاله الدائرة بين الفضل والعدل،
 فله الحمد الكامل، بجميع الوجوه
  الْحَمْدُ لِلَّهmerupakan  pujian terhadap Allah SWT. karena sifat-sifat-Nya yang sempurna, juga karena perbuatanNya yang berkisar antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna dari berbagai aspek.
          Lebih lanjut Al-Qasimi (1978:1:6) menyebutkan: 
(الحَمْدُ للهِ ) أي الثناء بالجميل , والمدح بالكمال ثابت لله دون سائر ما يعبد من دونه,
ودون كل ما برأ من خلقه. واللام فى ((الحمد)) للاستغراق أى استغراق جميع أجناس
 الحمد وثبوتها لله تعالى تعظيماً وتمجيداً
(الحَمْدُ للهِ ) yaitu pujian yang indah dan sempurna hanya untuk Allah semata. Huruf lam dalam kata الحمد bermakna istigraq, yakni menghimpun semua jenis pujian dan menetapkannya hanya untuk Allah semata sebagai bentuk pengagungan.
          Adapun Al-Maragi menyebutkan (1974, 1:30):
 (رب) هو السيد المربّى الذي يسوس من يربّيه ويدبّر شئونه.
Rabb adalah Tuan, pengurus yang menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur semua kebutuhannya.
 (العالمين) واحدهم عالم (بفتح اللام) ويراد به جميع الموجودات ، وقد جرت عادتهم ألا يطلقوا هذا اللفظ إلا على كل جماعة متمايزة لأفرادها صفات تقربها من العقلاء إن لم تكن منهم ، فيقولون عالم الإنسان ، وعالم الحيوان وعالم النبات ، ولا يقولون عالم الحجر ، ولا عالم التراب ، ذاك أن هذه العوالم هى التي يظهر فيها معنى التربية الذي يفيده لفظ (رب) إذ يظهر فيها الحياة والتغذية والتوالد.
Kata العالمين mufradnya العالم, yakni semua makhluk yang ada, lafadz ini biasa nya digunakan untuk suatu kumpulan yang terpisah satu sama lain dengan sifat-sifat yang mendekati akal jika tidak terdapat pada mereka. Seperti perkataan: alam manusia, alam hewan dan alam tumbuhan. Tapi tidak boleh digunakan untuk alam batu, alam tanah. Hal tersebut karena alam-alam ini tidak mengandung makna tarbiyah yang semakna dengan lafadz rabb, adapun jika tampak padanya kehidupan, makanan dan berkembangbiak
          Sedangkan menurut Ibnu Katsir (1986, 1: 131)
{ رَبِّ الْعَالَمِينَ } والرب هو: المالك المتصرف، ويطلق في اللغة على السيد، وعلى المتصرف للإصلاح، وكل ذلك صحيح في حق الله تعالى.[ولا يستعمل الرب لغير الله، بل بالإضافة تقول: رب الدار رب كذا، وأما الرب فلا يقال إلا لله عز وجل، وقد قيل: إنه الاسم الأعظم]. والعالمين: جمع عالم، [وهو كل موجود سوى الله عز وجل] ، والعالم جمع لا واحد له من لفظه، والعوالم أصناف المخلوقات [في السماوات والأرض] في البر والبحر، وكل قرن منها وجيل يسمى عالمًا أيضًا.(إبن كثير : ۱ : ۱٣۱)
Rabb: raja yang menguasai, secara bahasa lafadz rabb mengandung makna: tuan, seorang penguasa wajib mengishlahkan, dan semua makna tersebut adalah benar merupakan hak Allah SWT.
Lafadz rabb tidak digunakan untuk selain Allah, kecuali jika diidafatkan, seperti: rabb ad-daar, Adapun lafadz ar-rabb hanya khusus untuk Allah swt, dikatakan bahwa: rabb itu merupakan nama yang agung. العالمين: jama dari kata العالم, yakni semua makhluk selain Allah SWT. Sedangkan lafadz ‘Aalam merupakan isim jama yang tidak ada lafadz mufradnya. Alam-alam tersebut merupakan bagian-bagian makhluk, yakni yang ada di bumi maupun di langit, di darat maupun di laut, dan setiap zaman beserta pengisinya disebut juga alam.
Sejalan dengan pendapat diatas, Al-Qasimi (1978:1:6) menuturkan:
((رَبِّ العَالَمينَ)) الرب يطلق على السيد المطاع و على المصلح وعلى المالك. – تقول : ربّه يَرُبٌّه فهو ربّ كما تقول: نمّ عليه ينمّ فهو نمّ- فهو صفة مشبهة, ويجوز أن يكون مصدراًبمعنى التربية وهى:تبليغ الشىء إلى كما له شيئاً فشيئاً. وصف به الفاعل مبالغة كما وصف بالعدل. والرب – باللام – لا يقال إلا لله عزّ وجلّ. وهو فى غيره على التقييد بالإضافة – كربّ الدار –. و (( العالمين )) جمع عالم وهو : الخلق كلّه وكل صنف منه. وإيثار صيغة الجمع لبيان شمول ربوبيته تعالى الجميع الأجناس. والتعربف لاستغراق أفراد كل منها بأسرها
رَبِّ العَالَمينَ , Rabb berarti tuan yang ditaati, yang membereskan dan raja. Berasal dari kata ربّ- يربّ- ربّ  yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya bisa juga semakna dengan lafadz  التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu sampai sempurna sesuatu, pelaku penyampainya disifati dengan sifat seperti adil. Lafadz Ar-rabb hanya untuk Allah semata, adapun jika digunakan untuk makhluk maka harus memakai idafat seperti: rabb ad-daar. Al-‘aalamiin merupakan jama dari kata ‘aalam, yaitu semua makhluk dengan berbagai macamnya, fungsi dari bentuk jama (الْعَالَمِيْنَ) untuk menjelaskan cakupan ketuhanan Allah SWT. Terhadap berbagai jenis makhluk. Definisi lil-istigrak adalah menyatukan semua bagian dengan yang lainnya.

2.          Makna Ijmali
  Surat al-Fatihah: 2 ini merupakan salah satu ayat yang sering dibaca, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Kalimat  الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ  juga seringali diucapkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala bentuk nikmat yang Allah amanatkan kepada manusia.
Makna ربّ العالمين  menurut Imam Asy-Suyuti dan Al-Mahalli mengemukakan bahwa: (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafadz 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafadz '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menunjukan makhluk berakal. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat bahwa alam merupakan tanda bagi adanya yang menciptakannya. (Hidayat, 2010: 1)
Adapun Imam Abul Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasqy (1986, 1: 23-26) menafsirkan ayat ini dengan terlebih dahulu mengemukakan perbedaan membaca diantara ahlul quraa,
القراءالسبعة على ضم الدال في قوله الحمد لله هومبتدأ و خبر وروي عن صفيان بن عيينه رؤبة العجاج انّهما قال (الحمدَ لله) باالنصب و هو على إضمار فعل وقرأ ابن عبلة (الحمدُ لله) بضم الدال واللام إتباعا للثاني الأول وله شواهد لكنّه شاذ وعن الحسن وزيد بن علي (الحمدُ لله) بكسر الدال إتباعا للاوّل الثاني
Al-qurra’ as-Sab’ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf dal  الحمدُ لله, yang merupakan mubtada (subjek) dan khobar (predikat). Diriwayatkan dari Sufyan ibn Uyainah dan Ru’bah al-‘Ajaj, bahwa mereka berpendapat الحمدَ لله dinasabkan karena menyembunyikan fi’il. Adapun Ibn Ablah membacanya dengan mendomahkan dal   الحمدُ لله karena mengikuti kepada kata kedua pertama, ia juga memiliki beberapa saksi akan tetapi syad, dan Al-Hasan serta Zaid ibn Ali membacanya dengan mengkasrahkan dal   الحمدِ لله karena mengikuti kata pertama kedua.
قال أبو جعفربن جرير معنى (الحمد لله) الشكر لله خالصا دون سائرما يعبد من دونه , ودون كل ما برأ من خلقه بما انعم على عباده من انعم اللتي لا يحصيها العدد , ولا يحيط بعددها غيرأحد
Abu Ja’far bin Jarir mengatakan Alhamdulillah berarti syukur kepada Allah semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan pula pada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tak terhingga jumlahnya, dan tak ada seorangpun selain Dia yang tahu jumlahnya.
Lebih lanjut Ibnu Jarir (Ibnu Katsir, 1986:1:25) menyebutkan: di kalangan para ulama mutaa’khirin, alhamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat- sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun asy-syukru dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan.
          Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Al-hamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan juga pihak lain, misalnya anda katakan: “Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang ksatria dan kedermawanannya.” Tetapi juga lebih khusus karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterimakasih kepadanya atas sifatnya yang ksatria, namun bisa dikatakan aku berterimakasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
          Dengan demikin dapat ditarik garis besarnya bahwa   الحمدُ للهmerupakan segala pujian yang dihaturkan hanya untuk Allah semata karena sifat-sifat-Nya yang agung, diungkapkan melalui lisan. Berbeda halnya dengan الشكر yang berarti pujian karena kebaikan yang berupa nikmat atau pemberian, lafadz ini bisa digunakan kepada Allah ataupun manusia, dan diungkapkan bisa berbentuk lisan, perbuatan ataupun hati.
          رَبِّ الْعَالَمِيْنَ rabb memiliki beberapa arti; berarti tuan yang ditaati, yang membereskan, raja, seorang penguasa yang wajib mengishlahkan, Rabb adalah Tuan, pengurus yang menguasai orang yang diurusnya dan yang mengatur semua kebutuhannya. kata ربّ- يربّ- ربّ  yang semakna dengan نمّ- ينمّ- نمّ (tumbuh), lafadz ini merupakan sifat Musabbahah, mashdarnya semakna dengan lafadz  التربية, yang berarti: menyampaikan sesuatu sampai sempurna sesuatu tersebut. Rabb tidak bisa digunakan untuk menyebut manusia atau makhluk, kecuali jika didafatkan dengan kata lain seperti; rabb al-bait (pemilik rumah) (Ibnu Katsir, 1986:1:26).
            الْعَالَمِيْنَ bentuk jama’ dari الْعَالَم, yang berarti alam; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan dan sebagainya. Kata tersebut diatas merupakan isim jinsi yang tidak ada bentuk mufradnya, karena baik الْعَالَمِيْنَ ataupun  الْعَالَمِ bermakna jama, seperti halnya kata قوم dan  رهطyang berarti kelompok atau golongan. (Ibnu Katsir, 1986:1:26)
Setiap pujian yang indah hanya milik Allah SWT. Karena Dialah sumber semua kehidupan. yakni Dialah yang menguasai seluruh alam, mengatur mereka dari penciptaan hingga akhir dan memberi sesuatu yang baik dan islah bagi mereka. Maka, hanya bagi-Nyalah segala puji yang baik dan ungkapan syukur atas kebaikan-Nya.
Umar Yusuf Hamzah (Rosyidin, 2009:19) mengemukakan bahwa secara umum kata tarbiyah dapat dikembalikan pada tiga akar kata yang berbeda;- يربو  ربا yang semakna dengan- ينمو  نما berkembang,  ربي- يربي yang berarti tumbuh, dan ربّ- يربّ yang bermakna memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
Dalam litelatur bahasa arab, selain kata tarbiyah terdapat empat kata lain yang sering kali diartikan pendidikan atau pengajaran; ta’lim, tadris, tahdzib, dan ta’dib. Tarbiyah merupakan pendidikan menyeluruh terhadap manusia yang meliputi; jasmani, akal, akhlak, sosial, emosional, estetika dan lain sebagainya, tarbiyah juga berlangsung secara kontinu. (Rosyidin, 2009:20)
Ta’lim lebih menekankan pada aspek kognitif dan keterampilan, secara bahasa ta’lim semakna dengan al-i’lam, yakni pemberitahuan informasi. Proses ta’lim dilakukan secara berulang-ulang sehingga dapat diingat. Ta’lim tidak menuntut lebih dari guru yang melaksanakan pengajaran, peserta didik hanya harus memperhatikan dan mendengarkan materi yang disampaikan guru. (Rosyidin, 2009: 20-21)
Tadris merupakan bentuk masdar dari darasa- yadrusu, yang berarti membaca dengan terus-menerus, berulang-ulang agar dihapal. Selanjutnya tadris diartikan mengajar. Proses tad’ris memiliki beberapa tahapan; membacakan, membicarakan, menjelaskan, mengimlakan, menulis, membandingkan, menganalisis, menilai dan menyimpulkan. (Rosyidin, 2009: 22)
Tahdzib bermakna membersihkan, membetulkan, memperbaiki agar terhindar dari hal-hal yang tidak perlu, dan membersihkan yang sudah ada. Aziz Salim mendefinisikan tahdzib dengan pembinaan akhlak, perbaikan prilaku, pembangkitan nurani, penajaman cita-cita dan pendidikan kemauan atas asas-asas keIslaman, hingga akan terbentuk insan muslim yang sebenarnya. (Rosyidin, 2009: 23)
Ta’dib berarti budi pekerti yang baik, prilaku terpuji, sopan santun, melatih jiwa dan memperbagus akhlak. Dengan kata lain ta’dib berarti pendidikan adab, akhlak, etika, prilaku. (Rosyidin, 2009: 24)
Al-Maragi (1974, 1: 30) membagi tarbiyah dalam dua kategori;
Tarbiyah Allah terhadap manusia terdapat dua; (1) tarbiyah khalqiyyah, yang berupa pertumbuhan anggota badan, hingga mencapai kematangan, juga berupa bertambah kuat psikis dan akal. (2) tarbiyah diniyyah tahdzibiyyah, berupa sesuatu yang di ilhamkan kepada beberapa individu, untuk menyampaikan kepada setiap manusia sesuatu yang dapat menyempurnakan akal pikiran dan membersihkan diri-diri mereka. Manusia tidak bisa mensyariatkan suatu beribadah, tidak pula menghalalkan sesuatu dan mengharamkan yang lainnya kecuali atas izin Allah SWT.
Sependapat dengan ungkapan Al-Maragi diatas, dengan istilah yang berbeda As-Sa’adi (1: 39) juga membagi Tarbiyah Allah SWT. kepada makhluk-Nya kepada dua bagian;
Umum, yakni berupa penciptaan Makhluk, memberi rizki, memberi hidayah untuk kemaslahatan mereka, yang hidayah itu didalamnya terdapat kekekalan di dunia. Khusus, tarbiyah Allah terhadap para peminpin mereka, Allah memelihara mereka dengan keimanan, memberi taupik kepada mereka, menyempurnakan mereka, membayar dari mereka perubahan-perubahan dan sesuatu yang menyibukan hubungan diantara Dia dan mereka. Hakikatnya: memelihara keberhasilan untuk setiap kebaikan, menjaga dari setiap kejelekan. Barangkali inilah makna rahasia dibalik banyaknya seruan para nabi dengan menggunakan lafadz rabb, karena sungguh setiap permintaan mereka berada dibawah pemeliharaan Allah SWT.

3.         Nilai Tarbawi
Menurut Al-Hijazi (Rosyidin, 2003: 23)  rabb adalah raja dan tuan, pada kata tersebut mengandung makna ketuhanan, pendidikan, dan bimbingan atau bantuan. Kata al-‘âlamîn jamak dari ‘alam, artinya alam itu banyak macamnya, selain alam Allah, ada juga alam manusia, binatang dan tumbuhan.
Kata rabb dalam surat al-Fatihah ayat 2 semakna juga dengan kata rabb dalam surat ash-Shâffat180
“Mahasuci Tuhanmu  yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan”.
Menurut Al-Hijazi, kata rabb mengandung makna bahwa rububiyyah Allah mengarahkan pendidikan supaya bersifat sejuk, penuh kasih sayang, perhatian, inspiratif dan menyenangkan atau tidak membosankan. (Rosyidin, 2003: 24)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa konsep pendidikan yang terkandung dalam kata rabb pada dua ayat tersebut adalah bahwa cakupan pendidikan itu meliputi fisik, perasaan, akal (intelektual), bakat (potensi) dan jiwa, sehingga mencapai kesempurnaan kemanusiaannya menurut pandangan Allah SWT. kemudian dia menjelaskan bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk memberikan kesenangan dan kemuliaan antara guru dan murid tanpa ada batas. (Rosyidin, 2003:25)
Sedangkan Ar-Raghib (Zakaria, 2008: 110) mendefinisikan rabb sebagai berikut;
إنشاء الشيئ حالا فحالا إلى حدّ التّمام
Menjadikan sesuatu setahap demi setahap, sampai batas yang sempurna.
Dengan demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, nilai tarbawi yang terkandung dalam ayat ini, yaitu:
a.       Allah SWT. Dialah maha guru, yang pertamakali mengajarkan ilmu pada manusia pertama, yaitu Adam as., maka segala ungkapan puji dan syukur hanya untuk Allah yang maha suci, atas segala sifat-sifat-Nya yang agung.
b.      Seorang pelajar, murid ataupun peserta didik harus berterimakasih kepada guru atas budi baiknya mendidik kita. Mendidik disini dalam artian tarbiyah, bukan sekedar mendidik tapi juga membimbing, mengawasi, menjaga dan mengajarkan.
c.       Proses tarbiyah bukan hanya sekedar mengajarkan saja, tapi juga membimbing, menuntun dan mendidik sampai peserta didik memahami dan mempraktekan ilmunya.

B.       Surat Al-Isra: 24
1.         Tafsir Mufradat
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “ dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasihsayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi (1418 H, 8463: 14) menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
{وَاخْفِضْ} : الْخَفْضُ ضِدُّ الرَّفْعِ.
{وَاخْفِضْ} al-khafdlu (merendahkan) merupakan kebalikan dari ar-raf’u (meninggikan)
{جَنَاحَ الذُّلِ} : الطَّائِرُ مَعْرُوْفٌ أَنَّهُ يَرْفَعُ جَنَاحَهُ وَيُرَفْرِفُ بِهِ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُطِيْرَ، وَيَخْفَضُهُ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَحْنُوَ عَلَى صِغَارِهِ، وَيَحْتَضِنُهُمْ وَيُغْذِيْهِمْ.
{جَنَاحَ الذُّلِ}: diketahui bahwa seekor burung akan mengangkat sayap dan mengepak-ngepakannya ketika hendak terbang, dan merendahkannya ketika hendak mengasihi anak burung, lalu mendekap dan melindunginya.
وَهٰذِهِ صُوْرَةٌ مُحَسَّةٌ لَنَا، يَدْعُوْنَا الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى أَنْ نَقْتَدِيْ بِهَا، وَأَنْ نُعَامِلَ الْوَالِدَيْنِ هٰذِهِ الْمُعَامَلَةِ، فَنَحْنُوْ عَلَيْهِمْ، وِنَخْفَضُ لَهُمُ الْجَنَاحَ، كِنَايَةً عَنِ الطَّاعَةِ وَالْحَنَانِ وَالتَّوَاضَعِ لَهُمَا، وَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ كَالطَّائِرِ الَّذِيْ يَرْفَعُ جَنَاحِيْهِ لِيَطِيْرَ بِهِمَا مُتَعَالِياً عَلَى غَيْرِهِ.
Ini merupakan gambaran  kasih sayang bagi kita, Allah SWT. Menyeru kita melakukan kebenaran yaitu: mengikuti gambaran tersebut, melakukan hal tersebut terhadap kedua orang tua, menyayangi mereka dan merendahkan diri dengan penuh kasih sayang. Sebagai bentuk kiasan dari ketaatan, rasa sayang dan tawadu’ terhadap mereka berdua. Hendaklah kamu menjadi seperti seekor burung yang mengepakkan sayapnya untuk  terbang tinggi bersama mereka.
Al-Qasimi (1978: 9-10: 219) menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
معنى قوله تعالى و (واخفض لهما جناح الذلّ) تَذَلَّلْ لهما و تواضع. و فيه استعارة مكنية و تحييلية.
Makna firman Allah swt: واخفض لهما جناح الذلّ (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang), yakni merendahkan diri dan tawadlu terhadap keduanya, dalam ayat ini terdapat istiarah makniyyah dan tahliliyyah.
Kata الذلّ menyerupai bagian-bagiannya dengan penyerupaan yang samar, maka tetaplah dosa yang terbayang-bayang, dan merendahkan secara terdidik. خفضه sesuatu yang dikerjakan ketika menghimpun anak burung untuk dipelihara, lafadz ini merupakan isti’arah tashrihiyyah.
(و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا) أى رب! تعطف عليهما برحمتك و مغفرتك, كما تعطفا علىّ فى صغرى, فرحمان و ربيانى صغيرا حتى استقلت بنفسى, واستغنيت عنهما. و قل ربّ ارحمهما كما ربّيانى صغيرا 
               yakni ya rabb, kasihanilah mereka berdua  dengan rahmat dan magfirahmu. Sebagaimana mereka mengasihaniku ketika kecil. Mereka menyayangi dan mengurus aku ketika kecil, sampai aku mandiri dan berkecukupan karena mereka.
               Ibnu Katsir (1986, 3: 37-38) menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,
{وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ} أَيْ: تَوَاضَعَ لَهُمَا بِفِعْلِكَ {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا}
أَيْ: فِي كبرهما وعند وفاتهما {كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَة
(dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan), Maksudnya bertawadhulah kamu kepada keduanya melalui tindakanmu. (dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".) Yakni, pada usia tuanya dan pada saat wafatnya. (sebagaimana mereka mengurusku ketika kecil).

2.      Makna Ijmali
As-Suyuti dan Al-Mahalli menafsirkan ayat ini sebagai berikut: (Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada keduanya (dan ucapkanlah, "Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku waktu kecil). (Hidayat, 2010: 568)
Ayat ini mengandung perintah untuk bersikap tawadlu dan sopan terhadap kedua orang tua. Juga printah untuk senantiasa mendo’akan mereka kapanpun,  dimanapun dan bagaimanapun keadaannya. Hal tersebut merupakan bentuk balasan ataupun terima kasih anak, karena telah dididik, dipelihara, dibimbing sejak dari kecil hingga mencapai usia baligh dan mandiri.
Terkait  birrul waalidaini (berbakti kepada kedua orangtua)banyak hadits yang membahas hal iniDiantaranya hadis yang diriwayatkan melaui jalur Anas dan juga yang lainnya, bahwasanya Rasullullah Saw. pernah menaiki mimbar kemudian berucap:
 (امين امين امين) قيل : يا رسول الله علام امنت؟ قال : ((أتلني جبريل فقال : يا محمد رغم أنف رجلذكرت عنده فلم يصل عليك , قل : امين, فقلت: أمين, ثم قال رغم أنف رجل دخل عليه شهر رمضان ثم خرج فلم يغفر له, قلْ: أمين, فقلت امين , ثم قال: رغم انف رجل أدرك والديه او احدهما فلم يدخلاه الجنة, قلْ: امين, فقلت: أمين))
“Amin. Amin. Amin. Lalu ditanyakan: ‘Ya Rasulullah , apa yang engkau amin-kan tadi? Beliau menjawab: ‘aku telah didatangi Jibril, lalu ia berkata: ‘sungguh hina orang yang (namamu disebut di sisisnya), namun ia tidak bershalawat kepadamu. Maka ucapkanlah amin.’ Maka aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata lagi: sungguh hina orang yang masuk bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya dengan tidak mendapat ampunan. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin. Selanjutnya Jibril berkata: ‘Sungguh hina orang yang mendapatkan kedua atau salah satu orang tuanya (masih hidup), namun kesempatan bakti kepada keduanya tidak memasukkannya ke surga. Maka ucapkanlah amin.” (Ibnu Katsir, 1986: 3:37-38)
Dikuatkan dengan hadits yang berbunyi “ketika aku sedang duduk dekat Rasulullah Saw., tiba-tiba beliau didatangi oleh seseorang dari kaum Anshar, lalu ia bertanya: ‘Ya Rasulullah, masihkah ada sesuatu dari baktiku kepada orangtua yang dapat aku lalukan setelah keduanya wafat?’ Beliau menjawab: ‘Ya, masih ada empat perkara, yaitu menshalatkan keduanya(shalat jenazah), memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, dan menghormati sahabat keduanya serta menyambung tali silaturahim, yang engkau takkan mempunyai hubungan silaturahim kecuali melalui keduanya. Demikian itulah yang masih tersisa bakti kepada kedua orangtua yang harus kamu lakukan setelah keduanya wafat.’ (HR. Abu Daud dan Ibu Majah). (Ibnu Katsir, 1986: 237)
                   Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Saulami, bahwasanya Jahimah pernah datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, aku ingin ikut perang dan aku datang kepadamu untuk meminta saran, maka beliau pun bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,” jawabnya. Maka beliau berkat: “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu terletak di kedua kakinya.” (An-Nasa’I dan Ibnu Majah)  (Ibnu Katsir, 1986: 238)
قال الزمخشرى: أى لا تكتف برحمتك عليهما التى لا بقاء لها, و ادع الله بأنّ يرحمهما رحمته الباقية. واجعل ذالك جزاء لرحمتهما عليك فى صغرك و تربيتهما لك. و الكاف للتعليل. أى لأجل تربيتهما لى.قال الطيبىّ: الكاف لتأكيد الوجود. كأنّه قيل:رب ارحمهما رحمة محققة مكشوفة لا ريب فيها و هو وجه الحسن.
Az-Zamakhsyari berpendapat: yakni, jangan menutup kasih sayangmu  terhadap keduanya, dan berdo’alah kepada Allah agar Dia merahmati  mereka selamanya. Jadikan hal tersebut sebagai balasan atas kasih sayang dan didikan mereka kepadamu ketika kecil. Kaf pada ayat tersebut bermakna ta’lil, yaitu bermakna karena mereka telah mengurusku,  At-Tiibi berkata: kaf pada ayat ini berfungsi penguat arti, seolah-olah berdo’a; ya tuhanku rahmatilah mereka berdua dengan rahmat yang sesungguhnya dan seluas-luasnya yang tidak ada keraguan. yakni yang paling baik. (Ibnu Katsir, 1986: 238)
Sebagian ulama salaf menganjurkan seseorang berdo’a untuk kedua orang tuanya pada tasyahud akhir sebelum salam, karena itu merupakan waktu yang utama. Sungguh telah aku himpun beberapa do’a yang diperuntukan bagi orangtua yang telah wafat atau salah satu dari keduanya. Beberapa do’a yang aku himpun untuk kitabku (al-auraad alma’tsurah), aku senantiasa berdo’a untuk keduanya pada waktu sahur, antara adzan dan iqamat shalat subuh, aku berpendapat bahwa waktu tersebut memiliki keutamaan dibanding waktu yang lain. (Ibnu Katsir, 1986: 238)

3.      Nilai Tarbawi
Menurut Ath-Thabari, kata rabbayânî semakna dengan nammayânî artinya menumbuhkembangkan. Dengan kata lain setiap orang tua senantiasa mentarbiyah anaknya dengan bentuk mendidiknya di waktu kecil serta menumbuhkembangkan fisik, mental serta potensi anak dengan penuh kasih sayang hingga anak mencapai usia dewasa hingga bisa mandiri dan mencukupi. (Rosyidin, 2003:35)
Sedangkan Al-Khawarijmi menjelaskan bahwa anak harus mengasihi kepada orang tuanya dan berdo’a agar Allah memberikan rahmat yang kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa batas. (Rosyidin, 2003:35)
Sementara, Al-Maraghi menjelaskan bahwa rabbayânî berarti, bahwa dalam mendidik anaknya, orang tua harus senantiasa penuh kasih sayang yang sempurna, telaten dan bertanggung jawab. Hal ini diperkuat oleh Al-Hijazi, bahwa kedua orangtua itu telah mendidik anak diwaktu kecil. (Rosyidin, 2003:36)
Dilihat dari konteksnya, dalam kata rabbayânî terdapat objek “” (aku) dan dihubungkan dengan kata shagîrâ (waktu kecil), dengan demikian tarbiyat ditekankan pada pengembangkan indiviidu sejak masa kecil.(Rosyidin, 2003:36)
Dengan demikian nilai tarbawi yang dapat diambil dari ayat diatas; pertama, bahwa proses tarbiyah itu bukan hanya pada saat kita duduk di bangku sekolah saja, melainkan pada saat kecil pun kita sudah dididik oleh orang tua kita dengan penuh kasih sayang hinga sampai kita beranjak dewasa. Peran orang tua akan sangat berpengaruh terhadap sifat dan karakter anak, maka orang tua (pendidik) tidak hanya berkewajiban mendidik, tapi juga memelihara, menjaga, membimbing dan mengawasi.
Keduaadab pendidik terhadap peserta didik diantaranya; harus senantiasa penuh kasih sayang yang sempurna, telaten dan bertanggung jawab.
Ketiga, peserta didik seyogianya menyayangi orang tua atau pendidik, mendo’akan agar Allah memberikan rahmat yang kekal karena mereka telah mendidiknya sejak kecil tanpa batas, tidak menjelek-jelekan mereka berkata dengan sopan dan rendah hati dihadapan mereka.

C.      Surat Asy-Syu’ara: 16
1.         Tafsir Mufradat
فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُوْلآ إِنَّا رَسُوْلُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan Katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam.”
                               Menurut Al-Maragi (1974: 95-97), Maka datanglah dan berkatalah Musa dan Harun kepada Fir’aun: sesungguhnya Allah telah mengutus kami kepadamu agar kamu membebaskan dan memerdekakan Bani Israil – yang telah diperbudak selama 400 tahun – untuk pergi ke Tanah Suci, tanah tumpah darah nenek moyang yang dijanjikan Allah kepada kami melalui para Rasul-Nya.
                              
2.         Makna Ijmali
Allah SWT. mengabarkan tentang perintah yang diberikan-Nya kepada seorang hamba dan Rasul-Nya, yaitu Musa bin ‘Imraan as. ketika diseru dari sisi kanan gunung Thursina, diajak bicara dan berdialog, diutus dan dipilih-Nya serta diperintahkan-Nya untuk pergi kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Untuk itu Allah SWT. berfirman dalam surat Asy-Syu’ara:10-14
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. mengapa mereka tidak bertakwa?" berkata Musa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun. dan aku berdosa terhadap mereka, Maka aku takut mereka akan membunuhku".
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat thaha: 25- 28
tBerkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.
Seperti firman-Nya dalam ayat yang lain: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabb-mu”. Yaitu, kami semua diutus kepadamu, “Lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.” Yaitu, lepaskanlah mereka dari tawanan, genggaman, paksaan dan siksaanmu. Karena mereka adalah hamba-hamba Allah yang beriman dan tentara-tentara-Nya yang ikhlas, sedangkan mereka berada bersamamu dalam keadaan mengalami siksaan yang pedih. Ketika Musa berkata demikian kepadanya, Fir’aun menolak semua tuntutan itu dan memandangnya dengan pandangan menghina dan merendahkan. Maka dia berkata: “Bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami waktu kamu masih kanak-kanak.” Yaitu, bukankah engkau telah kami asuh dilingkungan kami, di rumah kami dan di pembaringan kami. Kami telah memberikan kesenangan selama beberapa tahun, kemudian engkau membalas kebaikan itu dengan perilakumu membunuh seorang laki-laki diantara kami dan engkau berusaha mengingkari pemberian kami kepadamu. Untuk itu dia berkata: “Engkau termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna,” yaitu orang-orang pembangkang.
Al-Qurtubi mengatakan, kemudian mereka berangkat menuju Fir’aun, tetapi baru setahun kemudian mereka diberi izin untuk menghadap kepadanya.
Dengan menegur dan mengejek, Firaun berkata kepada Musa sambil mengingatkan dua perkara:
“Fir’aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu.” (Asy-Syu’ara: 18)
Diriwayatkan bahwa Musa tinggal bersama Firaun selama 18 tahun. Dikatakan pula selama 30 tahun. Pertama-tama Fir’aun menyebut kebaikannya kepada Musa, yaitu memelihara dan membesarkannya hingga dewasa; kemudian mencelanya karena telah membunuh tukang rotinya yang termasuk orang-orang terdekat kepadanya. Dengan demikian, Musa telah mengingkari nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh Fir’aun.
Musa tidak menjawab ejekan Fir’aun terhadapnya, karena hal itu sudah maklum dan tidak andil sedikitpun untuk mengarahkan risalah. Sebab apabila rasul memiliki hujjah yang nyata atas kerasulannya, maka dia akan maju menghadapi orang-orang yang dia di utus kepada mereka, baik mereka memberinya nikmat atau tidak. Oleh sebab itu Musa hanya menjawab perkara kedua (Asy-Syu’ara: 20) :
Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu Termasuk orang-orang yang khilaf.
 Musa berkata seraya menjawab Fir’aun : Aku lakukan perbuatan yang kamu sebutkan itu, yaitu membunuh orang Qibti, sedangkan ketika itu aku tidak menduga bahwa tinjuku akan merenggut nyawanya, tidak lain hanya untuk mendidiknya; tapi ternyata tinjuku telah mengakibatkan kematiannya. (Ibnu Katsir, 1986:342)
Hal itu ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Musa berkata: ‘Aku telah melakukannya,’’ yaitu, dalam hal itu, “sedang aku diwaktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.” Yaitu, sebelum aku mendapatkan wahyu dan sebelum Allah memberikan nikmat risalah dan kenabian untukku.
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan selain mereka berkata: “sedang aku diwaktu itu termasuk orang-orang yang khilaf,” yaitu, orang-orang yang jahil. Sedangkan Ibnu Juraij berkata: “seperti itulah qira’at ‘Abdullah bin Mas’ud ra. “Lalu aku lari meninggalkanmu ketika aku takut kepadamu,” dan ayat seterusnya. Yaitu, telah berlalu kisah terdahulu dan telah datang urusan lain, dimana Allah telah mengutusku kepadamu. Jika engkau mentaat, niscaya engkau akan selamat dan jika engkau melanggar, niscaya engkau akan celaka. Kemudian Musa berkata: “Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani israil.” Yaitu, kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku dan kebaikanmu yang telah mengasuhku adalah balasan keburukan yang telah engkau lakukan kepada Bani Israil, dimana engkau jadikan mereka sebagai budak dan pembantu yang dapat engkau gunakan dalam pekerjaanmu dan meringankan kesulitan rakyatmu. Apakah kebaikanmu kepada satu orang laki-laki dapat membalas sikap burukmu kepada semua orang?! Artinya, apa yang telah engkau sebutkan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah engkau lakukan terhadap mereka.  (Ibnu Katsir 1986: 344-345)

3.         Nilai Tarbawi
Ayat ini berkolerasi dengan ayat sesudahnya yaitu ayat 18,
 Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu.
Ayat tersebut menceritakan kisah Fir’aun dan Musa. Dalam ayat diatas kata nurabbika dan walîdan secara langsung menjelaskan tentang ihwal tarbiyat. Dalam menjelaskan kata nurabbika dan walîdan ini, para mufassir berbeda cara menjelaskannya, namun semuanya bisa diterima. (Rosyidin, 2003: 37)
Ash-Shâwi menjelaskan bahwa Fir’aun memberikan kesenangan dengan mengurus Musa sejak kecil dengan pendidikan. Hal ini diperkuat oleh Al-Jûzi, bahwa Fir’aun mengasuh Musa sejak kecil. (Rosyidin, 2003: 37)
Adapun lamanya proses pendidikan yang dilakukan Fir’aun, para sahabat atau tabi’in berbeda pendapat, namun pada intinya sama yaitu sampai usia baligh. (Rosyidin, 2003: 37)
Al-Hijazi menjelaskan bahwa ayat diatas menjelaskan tentang jawaban Musa kepada Fir’aun, katanya: “Bagaimana mungkin engkau (Fir’aun) merasa mendidikku dirumahmu padahal engkau telah menyiksa Bani Israil dengan siksa yang pedih?”. Hal ini menunjukan bahwa Musa tidak berarti dididik oleh Fir’aun sekalipun Fir’aun mengakuinya. Dengan kata lain, bahwa hakikatnya Fir’aun mendidik dan membesarkan Musa itu dalam Fisiknya saja tidak mendidik mental dan hati nuraninya. (Rosyidin, 2003: 37)
Dari penjelasan para mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa tarbiyah Fir’aun kepada Musa itu terjadi dalam pengurusan dan perkembangan fisiknya saja, tidak mendidik mental dan hati nuraninya, karena Fir’aun membesarkan Musa tidak dengan imannya. Dari ayat ini dapat diambil juga suatu konsep bahwa proses tarbiyat terjadi dan berlaku pada masa kanak-kanak dan juga terjadi pada masa dewasa. (Rosyidin, 2003: 38)
Dapat disimpulkan bahwa nilai tarbawi dari ayat tersebut;
a.       Bahwa tarbiyat atau pendidikan adalah: proses pengembangan jasad, ruh dan akal fikirannya. Dilakukan  dengan cara yang lemah lembut, penuh dengan kasih sayang. Proses pendidikan berlangsung sejak kanak-kanak hingga beranjak dewasa atau baligh.
b.      Peserta didik boleh saja menegur gurunya ketika melakukan kesalahan, tentunya dengan cara ma’ruf.
c.       Guru harus menguatkan murid ketika menghadapi musibah dan memberikan solusi.
 wallahu a'lam bish-showaab

 Sumber: