Minggu, 05 April 2015

Pendidikan dalam Perspektif Islam (part-1)



        Berbincang terkait pendidikan dalam perspektif Islam, penulis teringat akan wahyu pertama yang Rasulullah saw. terima melalui Jibril as. sebagai misi perdana beliau sebagai Nabi dan Rasul Allah swt., yakni surat Al-Alaq: 1-5 yang berbunyi:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Misi perdana Rasulullah saw di atas merupakan perintah membaca yang disertai dengan tauhidullah (mengesakan Allah swt.) sebagai bentuk penyerahan diri manusia terhadap Sang Khaliq yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah, perintah ini selain terdapat pada ayat 1, juga diulang pada ayat 3 dengan disertai penghormatan terhadap Allah swt. yang tersirat dalam kalimat  وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (dan Tuhanmulah yang maha pemurah). Selanjutnya pada ayat 4 disebutkan kembali sifat Allah swt selain maha pemurah juga yang telah mengajarkan dengan perantara kalam,  dan pada ayat 5 kembali dijelaskan Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Pada 5 ayat di atas terdapat 2 kata yang disebutkan berulang kali yakni اقْرَأْ (bacalah!) pada ayat 1 dan 3, juga kata  عَلَّمَ (Allah swt. telah mengajarkan) pada ayat 4 dan 5. Secara semantic, pengulangan kata bermakna taukid (penguat makna), dengan demikian kegiatan qira`ah (bentuk masdar dari قرأ- يقرأ-اقْرَأْ ) dan ta’lim (bentuk mashdar dari عَلَّمَ) memiliki penekanan/penguat, ini menunjukan bahwa membaca tidak cukup hanya satu kali saja, akan tetapi memerlukan pengulangan. Begitu pula dengan mengajar harus dilakukan secara berulang-ulang.
Jika kita cermati kegiatan qira`ah (membaca) dan ta’lim (mengajar) ini merujuk pada satu kegiatan urgent yaitu pendidikan, dari ayat di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa misi perdana yang Allah amanahkan kepada Rasulullah saw. adalah kegiatan pendidikan yang terealisasikan salah satunya dalam bentuk qira`ah dan ta’lim.
Dalam tinjauan Islam, terdapat beberapa istilah untuk mewakili kata ‘pendidikan’ yang masing-masingnya memiliki karakteristik tersendiri, yakni: tarbiyah, tadris, ta’lim, tahdzib dan ta`dib. Terkhusus untuk para pendidik baik guru maupun orang tua muslim, seyogianya kita mengenal makna dari istilah-istilah tersebut, untuk lebih lanjutnya kita memahami definisi pendidikan yang dimaksud dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah saw.

Untuk mengenal istilah-istilah pendidikan dalam Islam, penulis akan sajikan masing-masing penjelasannya pada tulisan edisi mendatang :D

Jumat, 03 April 2015

Sejarah Ilmu Nahwu



Sebagaimana telah diketahui bahwa kedudukan ilmu nahwu pada masa permulaan Islam sangatlah penting, hal ini dikarenakan nahwu merupakan aturan yang sangat diperlukan pada masa itu. Latar belakang terbentuknya ilmu ini ialah adanya kesalahan tata bahasa dalam menuturkan atau mengucapkan  bahasa Arab. Kesalahan ini terjadi baik dikalangan para budak maupun orang-orang Arab pada masa Nabi SAW, kemudian hal ini menyebarluas, sehingga mereka memusuhi orang yang tidak melakukan kesalahan mengucapkan bahasa Arab.
            Diriwayatkan dalam beberapa buku-buku sastra dan biografi bahwa ilmu nahwu ini disebut dengan ilmu bahasa Arab pada masa Abu Al-Aswad, Ibnu Qutaibah berpendapat: “orang pertama yang membuat bahasa Arab ialah Abu Al-Aswad Ad-Du`aliy”.
Adapun dinamai dengan ilmu Nahwu setelah masa Abu Al-Aswad, ketika itu Abu Al-Aswad menghadap kepada Imam Ali ra. untuk memberitahukan penemuannya (ilmu Nahwu), kemudian Ali ra. menyukainya dan beliau mengucapkan:
مَا أَحْسَنَ هٰذَا النَّحْو الَّذِيْ قَدْ نَهَوْتَ
“alangkah bagusnya An-Nahwu (contoh) yang engkau contohkan ini”.
Maka berdasarkan ucapan Imam Ali ra. Di atas para ulama bersepakat menamai ilmu bahasa Arab ini  dengan ‘An-Nahwu’ untuk mengabadikan kata yang diucapkan Ali ra., yang tiada lain merupakan salah satu definisi Nahwu secara bahasa yakni contoh.

*Diambil dari buku Nasy`ah An-Nahwu

Kamis, 02 April 2015

Kisah Family Huruf


            Alkisah, pasukan raja Lahn[1] yakni hakim kerajaan Al-Akhta` Al-Lughawiyyah[2] telah menculik keluarga harakat[3] yakni tuan Kasrah beserta istrinya ny. Dlammah,  dan anak perempuannya Fathah, serta anak laki-lakinya Sukun. Keluarga ini merupakan penanggungjawab utama produksi dan distribusi harakat  di kerajaan Al-Jumal Al-Arabiyyah[4], hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai kekacauan yang besar dan berbagai peristiwa yang sangat disesalkan di kerajaan, serta menghilangnya syakal dari berbagai buku dan peradaban yang penting di kerajaan.
            Melihat kekacauan ini, maka raja Nahwu yakni hakim kerajaan Al-Jumal Al-Arabiyyah memutuskan untuk menutup lembaga-lembaga pendidikan sampai kembalinya keluarga harakat. Para pelajar merasa sedih karena hal ini, kemudian sekelompok pelajar berinisiatif untuk menyelamatkan keluaga harakat, mereka meminta bantuan dan arahan panglima pengawal kerajaan yakni tuan Alif, maka diutuslah sekelompok tentara Al-Arqam untuk membantu para pelajar.
            Ketika menjelang sore hari, mereka telah sampai di benteng kerajaan Al-Akhta` Al-Lughawiyyah yang menjulang tinggi dan kokoh, mereka berembug memikirkan strategi untuk memasuki benteng tersebut. Para pelajar meminta pasukan untuk satu per-satu menaiki masing-masing orang sehingga membentuk tali yang kuat untuk dapat memanjat benteng, ketika mereka telah berhasil memanjat benteng, kemudian para pelajar beserta pasukan langsung menyerang penjara kerajaan Al-Akhta Al-Lughawiyyah, sementara keadaan sedang kacau, para pelajar memanfaatkan kesempatan ini untuk membebaskan keluarga harakat dan membawa mereka kembali ke kerajaan.
            Tak pelak lagi, semua orang di kerajaan Al-Jumal Al-Arabiyyah merasakan kegembiraan tiada tara karena keluarga harakat telah kembali, lalu mereka menyiapkan upacaya perayaan untuk menyambut mereka kembali, serta sebagai rasa terimakasih terhadap para pahlawan yang telah ikut membantu menyelamatkan keluarga harakat.
            Seluruh penduduk kerajaan yang terdiri dari Af’al[5], Asma[6], Hurûf[7] dan Arqam[8] ikut serta menghadiri perayaan ini. Di penghujung acara, Hakim menghadiahkan penghargaan terhadap para pelajar dengan memberikan tanda sempurna dalam bahasa Arab sebagai imbalan atas perjuangan mereka, kemudian Hakim berdiri sebagai tanda hormat kepada prajurit dari Ar-Raqm Wahid dan memberikan kenaikan pangkat dengan meletakan angka 0 disebelah kanan mereka, sehingga bertambah banyaklah jumlah prajurit di kerajaan.

*Diambil dari buku Al-Qisas An-Nahwiyyah karya Marwa Al-Mahmud



[1] Tergelincir
[2] Kesalahan bahasa
[3] Tanda baca
[4] Kalimat-kalimat bahasa Arab
[5] Fi’il-fi’il
[6] Isim-isim
[7] Huruf-huruf
[8] Nomor-nomor

Selasa, 19 November 2013

Konsep Tarbiyah ala M. Natsir

Nata,  Abuddin. (2005).  Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia . (2005 : 81-94)

1.        Berdasarkan Al-Baqarah: 177 tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut.
·         Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari.
·         Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain.
·         Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu.
·         Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain.
·         Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya,
·         Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.


*kajian gabungan HIMA-HIMI PERSIS PK UPI, 25 Oktober 2013 

Senin, 11 Februari 2013

Happy Hijab International Days

teruntuk engkau yang menyandang gelar PEREMPUAN
engkau adalah ibu, dengan kasih sayangmu terlahir insan-insan luar biasa
engkau adalah istri, kelapangan dan kecerdasanmu mendampingi suami mewujudkan miniatur masyarakat cerdas nan taqwa
engkau adalah anak perempuan, mendidik dan mengasihimu berbuah surga
dan engkau adalah saudara perempuan yang hak-hakmu wajib terjamin 
laksana mutiara di dasar samudra, engkau begitu istimewa, diinginkan dan dicari banyak manusia
karena mendapatkanmu bukan perkara yang mudah, bertaruh nyawa dan raga
kau begitu indah nan istimewa
bagian manapun darimu begitu mempesona
sebab istimewamu, dengan kasih sayang-Nya Allah lindungi engkau dengan perintah mulia
menutup keindahanmu, agar tak sembarang orang dapat menyapa
karena kau amat mahal dan berharga
jika dulu Hawa menutupi auratnya dengan dedaunan surga, 
maka hari ini kau akan lebih istimewa dengan hijab dunia yang kan mengantarkanmu ke surga-Nya 
yuk, jaga diri dengan aturan-Nya 



KEADAAN PEREMPUAN DI SURGA*


Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, penerbit Dar Al-Qasim
            Segala puji hanya bagi Allah, Dialah Tuhan semesta alam, shalawat serta keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada junjunan para Nabi dan Rasul Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan kepada para shahabatnya, amma ba’du.
            Ketika saya perhatikan banyaknya kaum hawa yang bertanya tentang keadaan mereka di surga, apa yang disediakan bagi mereka. Maka saya bermaksud mengumpulkan beberapa fa’idah yang akan memberikan penjelasan tentang permasalahan ini, dengan dibarengi kepercayaan yang berdasarkan dalil-dallil yang shahih dan aqwal para ulama. Maka saya memohon pertolongan kepada Allah.
Ø  Fa’idah pertama
Tidak dilarang perempuan bertanya tentang apasaja yang akan diberikan kepada mereka di surga baik berupa pahala, dan berbagai macam nikmat, karena naluri manusia senantiasa senang rasulullah tidak melarang jika terdapat diantara shahabiah-shahabiahnya yang bertanya tentang hal ini. Berkaitan dengan hal ini, para shahabat Nabi pernah bertanya kepada Nabi: “wahai Rasulallah, terbuat dari apa sajakah surga itu?”, Rasul menjawab: ”labnah dari emas dan perak… “ dan seterusnya. Dan suatu kali mereka bertanya: ”wahai Rasulullah, apakah kami akan kembali bersama isteri-isteri kami di surga?”. Kemudian Rasulullah memberitahukan tentang hal itu.
Ø  Fa’idah kedua
Naluri manusia –baik laki-laki maupun perempuan-  senantiasa merasa rindu atau ingin dan senang ketika disebutkan tentang surga beserta isinya, yang terdiri dari kesenangan-kesenangan, ini merupakan hal yang positif, dengan syarat tidak boleh membiarkan keimanan kosong tanpa dibarengi amal shaleh, karena Allah SWT telah berfirman: “ ……… dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu karena perbuatan yang telah kamu kerjakan….(Az-zukhruf:72)”, maka berita-berita tentang surga membuat diri orang mukmin termotivasi dan mengaflikasikannya dalam amal perbuatan.
Ø  Fa’idah ketiga
Surga beserta kenikmatan-kenikmatannya tidak diperuntukan hanya bagi kaum laki-laki saja, akan tetapi surga juga disediakan bagi kaum perempuan, Allah SWT menyebutkan: “ dan barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak didzalimi sedikitpun.” (An-Nisa:124)
Ø  Fa’idah keempat
Seyogianya seorang perempuan tidak boleh terlalu sibuk dengan urusan-urusannya, salah satunya dengan banyak bertanya tentang dan memperdalam tentang penjelasan-penjelasan masuk surga, seperti: apa yang akan kita kerjakan di surga?, dari mana kita akan berangkat?, dan sebagainya. Seolah-olah akan bepergian ke suatu padang pasir yang membahayakan, maka cukup lah dengan mengetahui bahwa masuk surga itu tidak akan ada kesengsaraan, dan beralih menuju kebahagiaan dan kekekalan, Firman Allah: “ mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka tidak akan keluar darinya.” (Az-Zukhruf:71), dan firman-Nya dalam surat Al-Maidah: 119: “……..Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.
Ø  Fa’idah kelima
Ketika Allah SWT menyebutkan hal-hal yang menggoda yang terdapat di surga, baik makanan-makanan, pemandangan-pemandangan yang indah, tempat tinggal, pakaian, dan lain-lain. Semua hal itu diperuntukan umum baik bagi laki-laki maupun perempuan, oleh karenanya semua akan merasakan hal-hal yang tadi disebutkan. Sudah suatu ketetapan bahwa Allah memotivasi kaum Adam dan keinginan mereka terhadap surga dengan bidadari dan perempuan-perempuan cantik, akan tetapi tidak demikian dengan kaum Hawa, para perempuan bertanya-tanya tentang hal ini, mengapa demikian??????..
Jawabannya:
1.       “sesungguhnya Allah tidak akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang Dia kerjakan, sedang mereka akan diminta pertanggungjawaban.” (AL-Anbiya: 23), akan tetapi tidak ada salahnya kita mengambil hikmah dari hal ini, urusan ini merupakan syari’at dan hukum islam.
2.       Salah satu tabi’at perempuan adalah rasa malu –sebagaimana telah ma’lum- oleh karena itu Allah tidak memberi rasa ingin yang sangat terhadap surga dengan berbagai keindahannya.
3.       Kecintaan perempuan terhadap laki-laki tidak seperti kecintaan laki-laki terhadap perempuan           -sebagaimana telah ma’lum- oleh karenanya Allah memotivasi kaum Adam dengan perempuan-perempuan surga, sebagai realisasi dari sabda Nabi: “aku tidak meninggalkan fitnah yang paling besar bagi laki-laki selain perempuan.” (H. R Bukhari). Adapun kaum ibu lebih condong kepada perhiasan-perhiasan seperti pakaian dan perhiasan (intan dan permata), melebihi rasa cinta mereka terhadap kaum laki-laki, karena perempuan diciptakan seperti itu (suka perhiasan), sebagimana Firman Allah: “dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam Keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran”. (Az-Zukhruf:18).
4.       Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: tiada lain Allah menyebutkan isteri-isteri untuk suami-suaminya, karena suami adalah thalib, yaitu menyukai perempuan, maka Allah menyebutkan isteri-isteri untuk suami-suami mereka di surga, dan tidak disebutkan suami-suami untuk isteri-isteri, akan tetapi tidaklah tepat jika para perempuan tidak memiliki suami, akan tetapi mereka juga memiliki pasangan dari bani adam.
Ø  Fa’idah keenam
Keadaan perempuan di dunia tidak keluar dari beberapa point dibawah ini:
1.     Perempuan yang meninggal dunia sebelum memiliki pasangan(menikah).
2.     Perempuan yang meninggal setelah bercerai dan belum sempat menikah kembali.
3.     Perempuan yang sudah bersuami, tapi suaminya tidak masuk surga bersamanya.
4.     Perempuan yang meninggal sesudah menikah.
5.     Perempuan yang suaminya meninggal dan ia tidak pernah menikah lagi.
6.     Perempuan yang suaminya meninggal dan ia menikah lagi.
Keadaan-keadaan tersebut di atas tidak akan ditemui di surga, adapun keadaan perempuan di surga adalah sebagai berikut:
1.     Jika seorang perempuan meninggal dunia sebelum menikah, maka Allah akan menikahkannya di surga dengan laki-laki penduduk dunia, sebagaimana sabda Nabi SAW: “tidak ada di surga yang membujang.” (H. R Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: jika seorang perempuan belum menikah di dunia, maka Allah SWT akan menikahkannya.
wallahu a'lam


*diterjemahkan dari artikel berjudul  'ahwal an-nisa fil jannah'